"KAK BIBAAAAH. Assalamualaikum ... Kak Bibah,"
Setelah sekian lama, akhirnya panggilan melengking khas Salma terdengar di luar sana. Aku berlari ke balkon mengeceknya sebentar memastikan dia benar Salma. Ketika kulihat dia di bawah sana, dia sudah macam melupakan kebenciannya pada seluruh penghuni komplek yang masih berpotensi dijodohkan dengan kakaknya.
"Cepetan, Kak!!!" Teriaknya menyadarkanku untuk bersiap-siap segera.
Tidak lebih dari lima menit aku juga sudah beres, bagaimana mau lama kalau hanya berwudhu dan memakai mukena saja. Tidak ada ritual khusus untuk memoles sedikit bedak di wajahku mengingat wajahku masih basah dengan wudhu dan di bawah sana Salma sedang menunggu.
"Kak Bibaaaah ... Aaaahhhh ... kangen!!!" Salma histeris memelukku di muka pagar, sampai pejalan kaki yang lewat ikut berbalik semua.
"Langsung ke masjid, hei! Jangan dibawa ke warung lagi anak orang!" sahut suara dari belakang kami yang berhasil memalingkan perhatian sebentar untuk sekadar melihatnya berlalu setelah menegur kehebohan Salma.
"Sirik aja jadi kakak!!!" teriak Salma namun dengan intonasi gemasnya.
"Yuk ah, telat entar nih,"
"Ya udah, jalannya sambil ngobrol," usulnya.
"Mau ngobrol apa emang?"
"Mm ... Kakak bener kemarin pulang sama Kak Fathar?"
"Hm ... iya. Kenapa?"
"Buka puasa bareng?"
"Iya,"
"Berbukanya sama yang manis?" runutnya.
"Iya, pake es teler,"
"Wah ... berdua?"
"I ... Iya," Aku mulai curiga dengan pertanyaan Salma diikuti senyum tak terdefinisinya.
"Masyaa Allah, Allahu Akbar, keajaiban dunia macam apa ini?! Terus, terus, gimana kemarin ngobrol sama kak Fathar, seru nggak?"
"Menurut kamu ngobrol sama kakak kamu seru nggak?"
"Lumayan sih, hehe,"
"Berarti kalau sama aku ... setengahnya lagi dari lumayan,"
"Emang kemarin ngobrolin apa aja, Kak?"
Oh tidak. Aku tidak mungkin mengatakan kami mengobrolkan tentang selera dia dan kakaknya yang serupa.
"Nggak ngobrolin apa-apa. Namanya juga dosen sama mahasiswa, mau ngobrol apa coba?" jawabku.
"Heuh! Kak Bibah, kak Bibah! Dia tuh masih tetangganya kakak, jadi santai aja kali sama dia. Lagian dia belum pernah bimbing kakak jadi nggak perlu dihormati. Nanti tunggu waktunya kak Fathar udah bimbing kakak, baru dihormati, okeyyy?!"
"Terserah kamu, Sal!"
"Tapi kak Fathar baik kan, Kak?"
"Kenapa sih kok nanya-nanya gitu?"
"Emang nggak boleh?"
"Bukan nggak boleh, jatohnya nanti jadi ghibah. Mau emang... makan bangkai saudara?"
"Kita kan ngomongnya kebaikan, kak. Ghibah tuh kalau yang diomongin menyangkut keburukan orang lain. Atau kak Fathar seburuk itu ya di mata kakak?"
"Buk-bukan gitu maksudnya..."
"Terus?"
"Ya, ya, ya enggak. Males aja ngomongin orang, apalagi kakak kamu. Salah ngomong dikit, kamu bisa laporin aku kapan pun kamu mau,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Tale (END)
Teen FictionMulai Ramadhan ini, aku tidak akan mau menerima kolak pemberian tetangga lagi. Titik!!! -Habibah, 1443 H