Malam harinya, ketika semua pegawai perusahaannya sudah pulang dan meninggalkan pekerjaannya, Alvano masih berada dikantornya dengan pikiran yang bercabang.
Tangannya sedaritadi mengetik sebuah surat lada laptopnya lalu dicetaknya, namun setelah kertas itu di cetak Alvano malah meremasnya dan membuangnya kesembarang arah.
Erangan demi erangan terdengar sangat keras dari luar ruangan itu. Keadaan kantornya memang sudah sangat sepi karena waktu sudah menunjukan pukul tengah malam.
Drrrtt drrrttt
Ponsel yang sejak tadi berada disampingnya bergetar tiada henti. Bahkan dari sore ponselnya selalu memperlihatkan kontak Rheyna yang menelepon karena cemas.
Selesai dengan acara di restoran sore tadi Rheyna mengobrol dengan Aileen, dengan pintar Aileen menjelaskan bahwa Alvano sedang tidak baik-baik saja.
Kerap ia marah-marah pada kedua anaknya itu hingga membuat mereka menangis, tapi kerap kali juga Alvano mengurung diri didalam kamarnya setelah pulang kerja hingga lupa dengan kedua anaknya yang menunggu kehangatan dari sang ayah.
Dalam cerita itu lah Rheyna kemudian mencemaskan Alvano. Pasalnya, lelaki itu tidak pernah menceritakan apapun tentang permasalahan yang sedang ia alami.
"Mas.."
Suara lembut itu terdengar dengan langkah kaki yang juga sangat cemas. Dari ujung kepala hingga ujung kakinya semua basah, suara petir pun mengiringi langkah cepatnya.
Ceklek
Pintu ruangan Alvano terbuka, namun itu tidak membuatnya menoleh ataupun mengalihkan pandangannya dari laptop.
Rheyna berlari menuju Alvano lalu meraih ponsel milik lelaki itu.
"Mas 35 kali aku neleponin kamu, kok kamu gak angkat?"tanya Rheyna.
Tidak ada jawaban.
"Mas jawab aku, kamu lagi kenapa mas?"
Masih tidak ada jawaban.
"Mas--"
"Bisa jangan ganggu saya? Saya harus bekerja!"ucap Alvano dengan tegas dan lantang.
Rheyna menyadari bahwa petanyaan sepelenya itu salah, lalu ia beringsut dan mengusap perlahan tangan Alvano.
"Mas maaf, aku cuma khawatir sama keadaan kamu"ucap Rheyna lembut.
Alvano tidak menggubris perkataan Rheyna dan kembali mencetak hasil ketikannya dari laptopnya.
"Mas, pulang yuk..istirahat dulu sebentar"ucap Rheyna.
"Kamu pulang aja sendiri, kerjaan saya masih banyak"jawab Alvano dingin.
"Mas, anak-anak nungguin kamu dirumah..mereka--"
Brakk
Alvano menggebrak meja sembari bangkit dari duduknya. Napasnya menderu hingga membuat Rheyna melangkah mundur karena takut.
"Sudah berapa kali saya ingatkan kamu untuk pergi! Tinggalkan saya sendiri!"tegas Alvano dengan mata yang tajam dan memerah menatap dengan tatapan menakutkan kearah Rheyna.
Dengan langkah yang cepat Rheyna berlari dan langsung merengkuh tubuh Alvano.
"Mas aku minta maaf, tapi jangan marah kayak gini..aku takut"gumamnya dalam pelukan itu.
Menyadari suara gemetar itu Alvano kemudian tersadar lalu menundukan kepala, menatap puncak kepala Rheyna yang terlihat basah lalu beralih menatap jendela ruangan yang juga terkena percikan air hujan.
"Rhey---"
"Mas demi Tuhan aku cemas sama kamu, anak-anak juga cemas sama kamu...kamu boleh marahin aku mas, marahin aku aja jangan anak-anak please"ucap Rheyna dengan pelukan yang semakin erat dan kedua kaki yang dihentakan pelan secara bergantian.
"Tinggalkan saya sendiri, saya butuh waktu"ucap Alvano dengan nada tenang namun sangat datar.
Pandangannya pun kembali lurus, membiarkan Rheyna memeluknya seorang diri tanpa ada rasa ingin membalas pelukan itu.
Rheyna mengangguk, "aku pergi sekarang mas aku pergi, tapi setelah ini aku mohon jangan lampiasin amarah kamu ke anak-anak. Mereka gak paham apa-apa soal dunia kamu"
"Lepas pelukan kamu, saya gak nyaman"
Dengan sigap Rheyna segera mundur dengan napas yang sesak. Tangisan nya ia tahan karena tidak ingin membuat keadaan semakin sulit. Kepalanya pun mendunduk tidak ingin menatap kearah Alvano yang masih belum menstabilkan emosinya.
"Aku pamit, mas"lirih Rheyna lalu beranjak pergi dari ruangan itu.
Alvano masih menatap lurus kedepan tanpa ingin melihat Rheyna yang memutuskan untuk benar-benar pergi dan memberi Alvano waktu untuk sendiri.
-
Sesampainya dirumah Rheyna disambut dengan tatapan cemas Fira, Aileen dan Enzi yang menunggu kedatangannya versama Alvano.
"Nak, kamu hujan-hujanan?"tanya Fira sembari menangkup kedua bahu Rheyna.
"Sedikit kok ma"jawab Rheyna sembari menurunkan kedua tangan Fira.
"Mami...maafin Ai, mami jadi kehujanan gara-gara Ai"ucap Aileen dengan wajah yang sangat merasa bersalah.
"Enggak apa-apa sayang, harusnya mami yang minta maaf karena papa gak bisa mami ajak pulang"jawab Rheyna sembari mengusap lembut puncak kepala Aileen.
"Papa lagi apa ma?"tanya Enzi
"Papa masih banyak kerjaan sayang, jadi kita yang sabar nunggu papa ya"jawab Rheyna.
Enzi dan Aileen mengangguk.
"Yaudah, kan udah tau tuh keadaan papa gimana, sekarang Ai sama Enzi bobo yuk sama eyang, biarin mama mandi terus istirahat"ucap Fira.
"Iya, eyang"jawab Enzi.
"Mami, jangan sakit ya"ucap Aileen sambil menggenggam tangan dingin Rheyna.
"Iya sayang, makasih ya"
"Dah mami"
"Istirahat ya, Rhey"ucap Fira sembari menuntun kedua anak Alvano.
"Iya ma, makasih banyak ya ma"jawab Rheyna.
Enzi dan Aileen pun berjalan beriringan dengan Fira. Belum sempat mereka memasuki kamar, Enzi berbalik lalu melambaikan tangannya kearah Rheyna.
-
".....papa tadi mama pulang bajunya basah karena Ai minta mama buat jemput papa pulang....mama juga nangis dikamarnya padahal Enzi mau bobo dikamar mama...
Papa nanti kalau pulang minta maaf sama mama ya pah..
Dah papa"
Alvano terdiam setelah mendengar sebuah pesan suara yang dikirimkan oleh Enzi lewat telepon genggam milik Fira. Alvano sendiri tidak mengerti kenapa Enzi bisa melakukan itu.
Tapi dibalik itu ia juga ikut memikirkan Rheyna karena kesalahan yang ia buat. Lagi-lagi gadis yang tiak tahu apa-apa itu menjadi korban pelampiasan amarahnya tanpa sengaja dan berujung membuatnya menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duda Lovers
RomanceAlvano, dosen tampan yang berstatus duda dan mempunyai anak kembar suatu hari bertemu dengan salah satu mahasiswa psikolognya. Alvano dan kedua anaknya yang selalu menutup diri dari orang lain ternyata berubah saat bertemu dengan gadis bernama Rheyn...