Belajar Sabar

1.1K 247 12
                                    

Happy reading!
________________

"A... dicukur rapi ya, kayak gini modelnya," tunjuk Asya ke layar ponselnya yang ia arahkan ke tukang cukur di mal yang ada di kota Bandung.

"Oke siap," sahut tukany cukur itu. Model rambut cepak mirip aktor Zac effron saat bermain di film lucky number one, menjadi pilihan Asya. Sambil menunggu adiknya cukur rambut, ia memotret Madhan untuk nanti diberikan ke bunda. Asya juga memberi kabar ke Iksan, takut-takut pria itu mendadak nyusul karena dirinya terlambat memberi kabar. Iksan memang begitu, saking sayangnya dengan Asya, harus kabarin ia sama kayak jadwal minum obat. Asya sendiri tak masalah, ia senang punya calon suami cukup 'protektif' kepadanya.

Perlahan, wajar segar Madhan yang pasrah menuruti kemuan Asya tampak pada pantulan cermin. Tatapan tajam serta alis tebalnya semakin menambah kesan macho pada diri Madhan. Asya tersenyum. Ia kembali memotret Madhan dengan ponselnya.

Cukur rambut selesai, Madhan menatap kakaknya yang tersenyum puas. "Beli baju yuk!" ajak Asya. Madhan mau menolak juga pasti Asya memaksa. Mereka berjalan beriringan, Asya bahkan menawarkan adiknya membeli parfume, dan perintilan khusus pria.

"Kak... jangan berlebihan," tegur Madhan saat berdiri di belakang Asya yang sedang memilihkan kaun juga baju lainnya untuk Madhan yang hanya bisa mengekor.

"Berisik. Diem, deh. Kakak mau nyenengin Adeknya masa nggak boleh." Asya melirik tajam. Ia menarik tangan Madhan menuju ke  bagian display sepatu. "Masih suka sepatu model gini, kan?" tunjuk Asya ke ankle sneakers. Madhan mengangguk. Ia akhirnya memilih sepatu, Asya duduk memerhatikan.

Pesan masuk dari bunda muncul. Asya tersenyum, karena ibunya mengirimkan sejumlah uang. Bunda meminta Asya untuk jangan bilang itu uang dari Bunda. Asya membalas pesan singkat itu buru-buru. Kemudian berdiri menghampiri Madhan yang ingin meminta pendapat wanita itu.

Selesai belanja, Asya mengajak makan. Saat-saat makan adalah hal favorit Asya, karena sejak kecil, keduanya suka sekali makan sambil sesekali ngobrol hingga makanan mereka habis.

"Kak... serius makan di sini?" Madhan sudah duduk di restoran all you can eat dengan nama jepang itu. Asya mengangguk. "Mahal... Kakak..." desahnya.

"Badanmu kurus, mana Madhan yang dulu tinggi kekar. Aku nggak mau lihat kamu makan nasi bungkus kayak tadi, khusus selama aku di sini, Madhan. Inget... Kakakmu ini supervisor, encer lahhh traktir Adek sendiri. Kalau se RT baru aku pensiun dini aja, bayar pake pesangonku." Keduanya terkikik.

Madhan beranjak, "yaudah, makasih Kakak, aku aja yang ambilin makannnya, Kakak panasin kompor." Madhan berlalu. Asya tersenyum, padahal di dalam hati, ia sedih, di saat ia makan enak di rumah atau saat pergi dengan kedua orang tuanya, Madhan entah makan pakai apa. Belum tentu daging ia makan dalam seminggu.

Asya benar-benar memanjakan sang adik. Tampak Madhan makan dengan lahap. Asya terharu. "Dhan, selama masih dalam misi kabur, beli makanan yang enak ya, beli warteg atau makanan padang minimal, pakai lauknya ya. Kakak kirim uangnya. Kamu harus punya badan sehat untuk bisa bertahan lawan Ayah dan keluarga kita nanti."

Madhan menaikkan sebelah alisnya, Asya yang paham, kemudian tersenyum. "Kita harus tunjukkin, kalau kita bisa sukses, Madhan, melebihi mereka...,sepupu kita maksudnya yang sebel ke kita cuma karena kamu berontak.

Gini... maksudku, kamu belajar sabar, hadapin Ayah juga semua orang yang meremehkan kamu, dengan hal yang bisa kamu lakuin dengan cara kamu. Makanya, aku mau kamu pulang, ngekos aja nggak papa, Bunda juga bisa ketemu kamu, kan, kita rahasiain keberadaan kamu sementara dari Ayah, sampai saatnya tepat, kamu pulang ke rumah.

Tetap... kamu sabar hadapain ocehan Ayah, ada aku dan Bunda yang dukung passion kamu di fotografi. Sebentar lagi bulan puasa, kita..., terutama kamu, senengin Bunda dengan pulang, ya. Ehm... apa... mau sekarang? Aku hubungin Mas Iksan untuk bantu cari kosan yang nyaman, kamu siapin lamaran kerja kamu di WO temenku. WO besar, Madhan, kantornya juga di gedung mewah, yang di seberang Senayan. Aku yakin, kita berdua bisa 'pamer' secara benar ke mereka." Asya tersenyum lebar. Madhan mengedikkan bahu. Ia kembali menikmati makanan. Memang susah membujuk seorang Ramadhan Putro si kepala batu.

"Kak..., kalau misal, aku pulang dan ngekos, aku mau yang deket masjid, aku--"

"Jangan khawatir. Mas Iksan pun sama kayak kamu. Dia seneng jadi marbot masjid deket rumahnya, padahal dia manajer pemasaran." Mendengar itu Madhan menganga.

"Serius?" kedua mata Madhan melotot.

"Iya. Nggak percaya? Makanya pulang, aku kenalin, aku yakin dia cocok sama kamu, pandangan dia tentang nilai-nilai hidup dunia dan bekal buat akhirat, jempolan. Bisa diimbangin."

Asya terus membujuk Madhan untuk pulang yang berakhir kekehan dari pria itu.

"Kak... Ayah apa nggak nyesal, waktu rendahin aku di depan keluarga besar dengan bilang, kalau aku anak nggak tau diri, nggak mikir masa depan, dan bakal jadi gembel doang. Di kasih fasilitas nggak mau, sombong, egois dan nggak pantes jadi bagian keluarga  besar Ayah?" tatap Madhan.

"Ayah nyesal, Madhan... aku pernah denger obrolan Ayah dan Bunda, karena Bunda marah besar. Bunda juga bilang Ayah salah, nggak pantes bilang kayak gitu ke anak sendiri. Apalagi di depan keluarga yang seperti itu sifatnya."

Madhan tersenyun sinis. "Makanya, Kak. Aku nggak mau diinjak-injak mereka, aku mau tunjukkin aku bisa jalanin hidupku dan sukses dengan standarku sendiri. Bukan karena mereka. Kalau mereka malu... bagus lah, nggak perlu juga terus usaha senengin orang lain memulu. Hati kita yang utama, Kak."

Madhan benar, Asya mengangguk. "Gimana kalau Ayah dan Bunda nggak ada ya, apa kita bakal ditanya kabar sama keluarga besar?" Asya mengaduk-ngaduk jus jeruk miliknya.

"Itulah, alasanku lainnya, Kak. Hati keluarga yang sesungguhnya, akan kelihatan setelah para tetua meninggal. Serius aku ngomong, Kak. Orang tua kita masih hidup aja, mereka begitu, cuekin kita, pura-pura anggap kita ada padahal kalau gabung kita dicuekin nggak ditanggapin. Mereka buruh warisan jatah kita dari Kakek? Ambil! Kasih, Kak, kalau perlu lempar ke muka mereka satu persatu." Gemuruh amarah menyelimuti hati pria tampan itu, Asya menggenggam jemari Madhan.

"Belajar sabar, Madhan, kita mau menghindar kayak gimana pun, namanya keluarga, pasti akan ketemu. Kita tunjukkin, kita bisa lebih hebat dari mereka walau, bukan dengan standar mereka yang maunya dilihat orang bagus tanpa cacat. Kita lihatin aja, jangan di balas. Kita cuma berdua, Madhan, kita harus kompak. Nggak papa dikucilkan mereka, kita tetap harus baik walaupun rasanya susah.

Aku nggak bisa lakuin ini sendirian tanpa kamu, seenggaknya, kita tata masa depan kamu bareng-bareng, jangan dendam, ya, ikhlasin, sabarin, jangan dibiarin emosi kamu tutupin hati kamu." Keduanya saling menatap. Asya tersenyum, baru saja mau mengukap kalimat lagi, sudah disela Madhan.

"Apa... mau bilang, 'Madhan pulang, ya', gitu, kan?" Madhan tersenyum geli, ia bisa nebak apa yang akan kakaknya ucapnya. Asya mengangguk.

"Pulang ya, Madhan, bareng aku...," pinta Asya yang hanya menadapat tatapan tajam dari pria itu. "Aku mau transfer uang untuk kamu, berapa nomer rekeningnya, Dhan?"

"Untuk apa sih, Kak. Kakak udah belanjain banyak, cukup, Kak..." tolaknya.

"Buat modal kerja nanti kalau udah pindah lagi. Kamu butuh baju, celana dan sepatu baru lainnya, beli pakai uang itu," lanjut Asya. Madhan mengusap wajahnya, tak akan bisa menolak, Asya lanjut makan tak peduli Madhan terus menunjukkan rasa tak enak hati kepada kakaknya.

Bersambung,

Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang