Beda pandangan

1K 262 14
                                    

Selamat berpuasa!
___________________

"Kan saya sudah bilang, jangan sampai dokumen itu ditemukan. Saya sudah atur semuanya tapi-- ah! Sial!" Suara itu terdengar saat Madhan sedang menikmati es buah sambil bersandar di balik dinding garasi rumah Melani.

Sabtu itu, acara buka bersama keluarga besar saudara kandung Melani diadakan. Rumah megah dengan desain bergaya victoria eropa ciri khas orang-orang kaya raya, berasa di pusat kota. Kanan kiri depan belakang, semua rumah besar dengan pagar tinggi. Tak lupa halaman luas juga dijaga sekuriti.

Madhan terus menyimak, salah, menguping suara pria yang tampak kesal. Apakah itu Dodo atau sepupu lainnya? Madhan tau suara siapa, tapi ia memilih menahan tawa tanpa berniat mendadak muncul di hadapan pria tersebut sambil memasang wajah meremehkan. Bukan gaya Madhan untuk hal itu.

"Berengsek!" umpatan terdengar lagi. Madhan tertawa tanpa suara, ia menggak habis es buah miliknya. Menyendiri di saat keramaian keluarga berlangsung, sudah kenikmatan hakiki bagi dirinya.

Hening menyapa, Madhan yang sudah berhenti merokok, memilih kembali ke dalam rumah lewat pintu dapur, tak mau menjadi sorotan jika masuk dari pintu utama. Ia melihat Asya yang berbaur dengan para sepupu lainnya, begitu sabar dan pandai membolak balik hati walau jelas terlihat oleh sang adik jika keberadaan Asya juga tak diharapkan, karena beberapa kali Asya mencoba menimpali tetapi direspon ala kadarnya oleh mereka.

Iksan tak ikut hadir, ia harus menghadiri rapat mendadak membahas kegiatan kantor menjelang libur lebaran yang akan mengadakan acara buka puasa bersama anak yatim piatu di kantor.

Madhan mendaratkan bokongnya pada sofa empuk nan super mahal itu tepat di sebelah Asya. Ia sengaja, ingin tau apa yang diobrolkan orang-orang sok borjuis itu. Pakaian merek ternama mereka kenakan, Madhan, ia memakai kaos kerah dan celana jeans. Membiarkan tatto pada lengannya tampak mentereng. Lagi-lagi, sengaja.

"Nggak mau tambah tatto lagi, Dhan? Tatto... naga barang kali, atau macan. Biar kayak preman-preman dan orang nggak bener diluar sana?" sindir saudara sepupu laki-laki lainnya.

Madhan hanya tersenyum simpul, tak mau menjawab dengan kata-kata. Lirikan sinis ditunjukkan saudara lainnya. Hah... rasanya Madhan mau colok semua tatapan mata itu.

Obrolan lanjut membahas karir masing-masing yang rata-rata sudah bekerja mapan. Termasuk Asya yang ditanya apa tidak mau pindah perusahaan, supaya jenjang karirnya bagus.

"Nggak, Teh, Asya mau di sini aja. Takutnya nanti keburu hamil, masih bisa santai jalani kerjaan sama urus anak. Kalau karir Asya tinggi, takut anak jadi korban," jawabnya. Ups, sepertinya ada yang tersindir dengan jawaban Asya. Madhan menatap beberapa pasang mata yang bereaksi malas mendengar jawaban Asya.

"Anak bisa dititip ke daycare, kan, ribet amat!" celetuk saudara sepupu perempuan yang berkarir sebagai manajer analisis.

"Asya nggak bisa, Teh. Malah rencananya nanti kalau bisa mau resign aja, bikin usaha biar anak juga dipegang Asya sendiri." Asya lanjut menjawab dengan nada bicara begitu pelan dan hati-hati.

"Kamu jangan berpikir begitu, Sya, sebagai perempuan, kita bisa bersaing sama laki-laki, kita bisa hebat juga dalam urusan karir. Jaman sekarang anak bisa dititip daycare yang punya fasilitas lengkap. Tinggal bayar. Simple. Jasa mereka justru membantu kita yang sibuk bekerja." Sorot mata wanita berambut panjang mengartikan jika jawabannya yang ia lontarkan itu bagus mendekati sempurna.

"Asya nggak tega. Kasihan, anak sendiri dititipin ke orang kayak barang, ya... kalau kepepet dan itu jadi keputusan orang lain, silakan. Tapi kalau Asya, memilih keluar dari kerjaan untuk urus anak. Asya titipin perhiasan ke orang lain aja takut, apalagi anak, perhiasan dunia akhirat, nggak, deh, Teh." Senyum Asya mengembang.

Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang