Mimpi buruk

1.2K 261 4
                                    

Happy reading!
________________

3 tahun kemudian.

Asya merasakan sesak di dada, keringan dingin bercucuran, ia baru saja mimpi buruk tentang Madhan. Ia melihat ke arah jam dinding, pukul tiga dini hari. Perlahan, ia turun dari ranjang, melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu, ia memilih salat tahajud.

Ia memanjatkan doa begitu kusyuk, selalu meminta Allah melindungi, memanjangkan umur juga memberikan kesehatan untuk adiknya. Tiga tahun, bukan waktu sebentar untuknya menahan rasa rindu kepada pria yang entah kini seperti apa perawakannya. Ia lost contact, mencari ke mana pun tak ada rimbanya.

Tangannya melipat mukena juga sajadah, setelahnya, ia letakkan di atas nakas kecil dekat ranjang. Ia tak bisa tidur lagi sehingga memutuskan untuk kembali mencari keberadaan Madhan. Kali ini ia akan mencari melalui media sosial. Madhan bukan tipe orang yang membuka diri pada sosial media, sifat real lifenya juga seperti itu, lebih suka menyimpan apa pun sendiri. Dan, itu tak baik.

Asya menghela napas berat, jemarinya masih memegang mouse tanpa kabel dengan satu tangan lainnya menyanggah dagu. "Kamu di mana, sih, Madhan..." keluhnya sebal. Random, Asya mencari informasi secara acak. Melihat instagram orang-orang hingga jemarinya mendadak berhenti. Telunjuknya menegang. Siluet itu, terpantul dari cahaya senja, membuat Asya mengerjapkan mata beberapa kali. Ia membaca siapa nama menggugah foto itu, bukan nama adiknya. Namun, ia segera mengajukan pertemanan dengan pemilik akun.

"Ini..., Madhan, 'kan?" ucapnya lirih. Pemilik akun itu tidak mengunci laman instagramnya, sehingga Asya kembali berselancar melihat foto-foto yang semuanya, beda wajah. "Foto pernikahan? Banyak banget," gumamnya lagi. Terus Asya melakukan pengamatan, muncul tanda persetujuan pertemanan pada laman instagram. Tanpa pikir panjang, Asya segera berkirim pesan dengan pemilik akun.

***

"Kenapa, lo?" tegur Lena, teman satu kantor Asya.

"Adek gue, semalem gue mimpi buruk lagi, Len..., gue khawatir." Asya menatap sendu ke Lena yang hanya bisa menghela napas.

"Mau dicari lagi? Ke mana?" Lena masih berdiri sambil bersandar pada kubikel tempat kerja Asya sebagai admin leasing yang sudah dua tahun ini ia kerja di sana.

"Nggak tau, ke semua temennya udah gue lakuin, mereka nggak ada yang tau jejak Madhan, gue takut, Len... dimimpi gue, Madhan--" Asya menggantung kalimatnya.

"Tenang, Sya, doain terus... Insyaa allah Madhan nggak papa. Lo udah bilang Iksan belum? Siapa tau temen dia yang polisi bisa bantu cari," usul Lena.

Asya berdecak, "temen dia nggak mungkin cari, lah. Kita semua kan nggak bikin laporan kehilangan orang. Bokap gue ngelarang, bikin malu doang kalau sampai orang lain tau apalagi keluarga tau kalau Adek gue kabur, bukannya kerja di luar negeri sesuai alasan yang bokap kasih kalau ditanya keluarga."

Lena mengerti, ia menganggukkan kepala. "Tapi... lo mau nikah sama Iksan beberapa bulan lagi, kan, lo harus bisa ketemu Madhan, Sya, Adek lo cuma dia. Masa... dinikahan lo, kurang satu anggota keluarga, Adek sendiri juga. Bismillah... cari lagi, gue coba bantu juga, ya, lo yang sabar," tutur Lena lagi, Asya mengangguk. Ia kembali memeriksa pekerjaannya, berharap ada secercah petunjuk untuk bisa menemukan adiknya. Tahun ini, Ramadhan harus pulang, apalagi minggu depan sudah masuk bulan puasa, cukup Asya membiarkan adeknya melewati dua kali lebaran, kali ini tak kan lagi.

***

Iksan dan Asya makan siang bersama, mereka sering melakukan itu, apalagi, mereka kerja satu gedung hanya beda lantai, Asya diperusahaan leasing, sedangkan Iksan analisa kredit di bank syariah.

"Mau cari Madhan ke mana lagi, Sya? Aku juga buntu, nggak ada petunjuk." Iksan menikmati soto ayam pesanannya. Asya sejak tadi mengaduk-ngaduk nasi goreng ayam miliknya yang juga belum ia suap. "Sya...," panggil Iksan lembut. Asya menatap calon suaminya yang baru setahun menjalin kasih dengannya, setelah tujuh bulan dekat, Iksan langsung meminta Asya untuk menjadi istrinya, dengan gentle, Iksan bertemu ayah dan bunda Asya.

"Nggak tau, Mas..., aku bingung, kepikiran mimpi buruk yang semalam terus, nggak bisa mikir," jawab Asya. Iksan tersenyum, pria berkacamata itu kemudian menjelaskan, jika mimpi buruk nggak perlu dipikirin apalagi diceritain ke orang lain. Cukup berdoa, meminta kepada Allah supaya hal buruk itu tidak benar terjadi.

"Bunda sempet bilang ke aku minggu lalu, kalau kangen banget sama Madhan, tapi nggak tau mau cari ke mana, jadinya Bunda nangis doang, Mas... dan aku tuh, rasanya... hati aku maksudnya, pingin terus cari Madhan tiap hari, tapi kepentok jadwal kerja, aku kesel banget, Mas ...," geram Asya.

"Sabar..., aku yakin Madhan baik-baik, jangan putus doa dan berharap supaya kamu bisa ketemu Madhan, ajak dia pulang dan saat kita nikah, ada dia. Aku juga belum kenal Madhan, kan? Harapanku sama kayak kamu, Sya. Ayo makan, mubazir, nggak baik buang-buang makanan." Wanita cantik dengan hijab warna biru tua itu mengangguk. Iksan tipikal lelaki pengayom yang sabar menghadapi sifat Asya yang suka menggerutu jika kesal atau memikirkan satu hal yang berat.

"Souvenir nggak mau diganti, kan? Udah fix mug aja?" Iksan mengalihkan obrolan ke urusan pernikahan mereka yang juga harus dibahas.

"Iya, itu aja. Mas Iksan ....

"Hm? Apa, Sya?" tatap Iksan menunjukkan keteduhannya.

"Aku tau, cara bikin Madhan  pulang," tukas Asya dengan kedua mata mengerjap pelan.

"Apa? Gimana caranya, kamu aja nggak tau Madhan di mana, 'kan?" Iksan menikmati makanannya dengan lahap.

"Aku tadi kirim DM ke seseorang, kalau dari fotonya, siluet badan orang tapi mirip Madhan, kali aja, kan, siapa tau itu emang Adekku." Asya tersenyum. "Boleh, aku berharap kalau itu Madhan, kan, Mas?" lanjutnya.

"Boleh... coba, aku lihat mana instagramnya?" Tangan Iksan terulur ke hadapan calon istrinya. Asya berdecak, ia tau Iksan penasaran dan lebih ke mau tau seperti apa Asya mengetik kata-kata saat berkirim pesan dengan lawan jenis. Iksan sendiri sudah mengarahkan Asya, nanti, kelak jika mereka sudah menikah, harus saling terbuka juga cerita, sama-sama membatasi hubungan pertemanan dengan lawan jenis, karena bisa menimbulkan banyak konflik yang bersumber dari eksternal.

Iksan membaca DM yang dikirim Asya, semua aman, tak berlebihan dalam berkata-kata. Asya tersenyum, Iksan cemburuan, tapi pintar menutupi dengan cara halus yang membuat Asya selalu mendengarkan ucapan calon suaminya itu.

"Eh... ada balasan, nih, Sya!" ujar Iksan yang segera membuka isi DM balasan itu. Asya sumringah. "Bukan Madhan, tapi orang ini bilang katanya kamu siapanya Madhan?" Iksan menatap Asya.

"Balas, Mas, bilang aja aku emang Kakaknya Madhan, tolong minta alamat Madhan ada di mana sekarang. Kita samperin, yuk, Mas Iksan, mudah-mudahan Madhan baik-baik aja," rengek Asya. Iksan mengetik pesan balasan, setelah dikirim, tak perlu menunggu lama, balasan DM itu kembali masuk.

"Sya ...." Iksan menunjukkan layar ponsel itu. Orang tersebut memberikan alamat Madhan, juga foto adiknya itu yang membuat Asya haru.

"Ayo ke sana, Mas Iksan, yok..." rengeknya lagi.

"Aku nggak bisa, Sya, nggak bisa cuti. Kamu sendiri aja, naik kereta, ya..., aku pesanin tiketnya. Kamu bisa cuti, kan? Mudah-mudahan ini jalan pembuka Madhan mau pulang," ucap Iksan sembari menyerahkan ponsel Asya. Wanita itu mengangguk. Mendapat lampu hijau dari Iksan untuk berangkat sendirian, tak ia sia-siakan. Foto yang dikirim orang tersebut ke DM instagram Asya, membuatnya ingin segera memeluk sang adik, memaksanya pulang dan menghadapi masalah Madhan bersama-sama.

Bersambung,

Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang