Pasang badan

1K 243 20
                                    

Hai lagi...!
__________

Suara azan subuh berkumandang, Asya sudah bangun lebih dulu untuk menyiapkan baju koko juga sarung suaminya yang akan ke masjid. "Yang Azan, siapa, Sya?" tanya Iksan dengan suara serak sambil beranjak dari ranjang.

"Madhan, Mas," jawab Asya seraya meletakkan baju di atas ranjang. Iksan tersenyum. Tak lama, selesai suami Asya mengambil wudhu, ia segera bersiap, Asya juga ikut bersama suaminya. Sebenarnya tal wajib perempuan ke masjid, hanya saja ia ingin menemani suami, merasakan salat subuh bersama di masjid setelah mereka menikah.

"Jangan pakai mewangian apa-apa, yang menarik perhatian orang, Sya." Iksan mengingatkan peraturan itu ke istrinya. Asya mengangguk. Bukan Iksan yang membuat peraturan, tapi, memang hal itulah yang menjadi tak wajib bagi wanita salat di masjid. Wanita sendiri suka bersolek, hal itu akan memancing perhatian baik wanita atau pria, bisa membuat ibadah menjadi tak kusyuk, belum lagi, terkadang, wanita jika bertemu sesama wanita, pasti ada bahasan tentang hal lain, takut-takut menggunjing orang padahal baru saja salat berjamaah di masjid.

Keduanya berjalan bersama, ayah juga ke masjid, tapi... tak sadar juga putranya yang tadi azan. Tampaknya ia lupa suara merdu Madhan. Asya mengintip sejenak dsri balik tirai pembatas antara makmum pria dan wanita, melihat apa Madhan yang jadi imam atau bukan. Oh... ternyata bukan, tapi ketua pengurus masjid bernuansa putih dan hijau itu.

Saat salah hendak dimulai, barulah Madhan muncul dari arah tempat wudhu, merapikan baju koko kemudian berdiri di barisan ke dua, belakang ayahnya. Asya kembali ke tempatnya, bersiap salat.

Selesai salat, para jamaah pria saling bersalaman, Madhan meraih tangan ayah yang terkejut karena Madhan ada di belakangnya, pria bertatto itu juga menyalim tangan Iksan, setelahnya beranjak cepat menuju ke arah ruang marbot yang ada di belakang masjid.

"Masih jadi marbot," gerendeng ayah.

"Nggak papa, Yah, bagus, kok," sela Iksan sambil bersimpuh, membantu ayah mertuanya berdiri.

***
Suasana rumah mulai ramai sejak pukul sepuluh pagi. Kehadiran sosok Madhan yang sudah lama tak muncul diantara keluarga, membuat semua keponakan baik dari keluarga ayah mau pun ibunya menyambut Madhan dengan heboh.

"Om Madhan!" pekik tiga keponakan perempuan yang masih kelas tiga SD. Madhan memeluk, menciumi pipi keponakannya gemas. Belum lagi saat sepupunya - anak dari kakak tertua bunda - datang membawa bayi dua bulan yang baru lahir. Madhan menggendong bayi itu, sambil berbincang dengan keluarga bunda.

"Kamu kerja di mana, Dhan? Di luar negeri di mana, sih?" tanya ibu dari bayi yang sedang ia gendong.

"Ada, deh," jawabnya diakhirnya cengiran. Tak lama, saat semakin banyak keluarga berkumpul, Madhan pamit ke kamar. Ia membuka lemari khusus berisi berbagai kamera, lensa, tripod, tas kamera, intinya semua perlengkapan fotografi ada di sana yang Madhan beli sejak masih kuliah, menabung dari uang jajan. Ada juga yang dibelikan bunda atau Asya.

Tangannya meraih kamera DSLR cannon, dengan lensa telephoto ukuran 52mm sebagai tambahan, tak lupa tripod juga. Madhan juga memakai kaos polos warna putih dipadu celana bahan denim warna hitam. Ia mencukur bulu-bulu halus di wajahnya semenjak mulai bekerja, Asya juga bawel mengingatkan hal itu.

"Madhan!" sapa para sepupu yang membuatnya berhenti di dua anak tangga terakhir. "Udah di siapin lamaran kerjanya?" Dengan lantang pria itu bertanya. Ia tampaknya baru saja tiba, terlihat kehebohan saat ia datang dari semua keluarga, apalagi pakaian yang keluarga itu kenakan tampak seragam dengan istrinya yang berdandan cukup heboh, seperti mau ke acara nikahan.

Madhan tersenyum tipis, lalu berjalan ke arah ruang tamu yang cukup besar, karena memang rumah orang tua Madhan membangun dua kavling untuk rumah mereka secara bertahap, tak langsung megah dan besar.

Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang