Peran setan

1.1K 282 20
                                    

Keluarga besar ayahnya terserang kepanikan mendadak. Dodo masuk berita, ia memang bukan pengusaha sukses, hanya saja, ia bekerja diperusahaan bonafit yang pemiliknya orang penting negara ini. Jelas merasa tertipu dengan Dodo yang memakan uang pajak perusahaannya, memainkan laporan angka juga mark up hal lainnya.

Dodo belum ditahan, karena masih dilakukan pemeriksaan, hanya saja, ia dilarang berpergian apalagi keluar negeri. Ia juga diberhentikan sementara dari pekerjaannya selama penyelidikan hingga nanti berlanjut naik tingkah kasusnya. Rapat direksi yang mendadak itu segera dilakukan tanpa penundaan.

Pria itu menatap lekat Roy yang datang ke rumah megah Dodo. Sang istri yang syok, memilih menenangkan diri di rumah orang tua bersama dua anak perempuannya.

"Lo udah cari tau, apa memang Madhan yang diem-diem laporin? Dia kan yang dengar obrolan kita waktu itu?" geram Roy. Dodo mengangguk.

"Siapa lagi. Dia dendam sama kita, anak itu diam-diam jahat. Licik. Juga senang kalau hal buruk terjadi sama kita." Tatapan Dodo tajam menatap Roy yang duduk di hadapannya.

"Apa gue ikut diperiksa?" Roy terlihat takut.

"Gue rasa enggak. Yang penting lo umpetin uang yang gue kasih ke elo. Jangan sampai terendus penyidik." Dodo beranjak, ia mengepalkan tangannya lagi. "Madhan harus kita kasih perhitungan. Sialan itu anak." makinya.

Selesai pertemuan itu, Roy kembali ke apartemennya, ia khawatir jika ikut terseret. Sebentar lagi ia akan menikah dengan Dewi, anak pengusaha properti ternama walau tak tau jika di belakang Dewi, Roy memiliki wanita simpanan.

Pintu apartemen ia buka, langkahnya cepat masuk ke dalam, namun berhenti saat melihat Dewi sudah duduk di sofa bersama Cyntia yang terlihat panik. Pria itu mematung di tempat, kemeja kerja sudah tak rapi, begitu juga dasi yang sudah longgar masing menggantung di lehernya.

"Apa aku butuh penjelasan lainnya? Setelah simpanan kamu ini cerita semuanya?" Dewi beranjak. Ia berjalan anggun ke arah Roy. "Aku kira, unit ini kosong, karena kamu bilang dari setahun lalu kalau nggak betah tinggal di sini, kamu pulang ke rumah Mama. Pantas saja aku nggak boleh main ke rumah Mama di hari biasa, cuma boleh sabtu sama minggu, ternyata karena senin sampai jumat, kamu sama pelacur ini?" tunjuk Dewi. Wanita berhijab itu tampak murka, namun tak lama ia menghela napas.

Dengan perlahan, Dewi melepaskan cincin pertunangannya, ia metakkan di meja. "Aku nggak mau nikah sama laki-laki murahan sama kamu. Mau seperti apa rumah tangga kita ke depannya?! Ternyata kamu berzina sama perempuan ini. Jijik aku sama kamu! Allah kasih unjuk siapa kamu sekarang, Roy! Keterlaluan." Napas Dewi memburu cepat.

"Papa dan Mama juga sudah tau. Mereka ada di rumah orang tua kamu. Mengembalikan semua seserahan yang kamu kasih untuk aku. Dan kamu, Cyntia." Dewi berbalik badan menatap wanita berpakaian seksi itu yang terus tertunduk.

"Perempuan, jaga harga diri, atau akan dianggap murahan. Sebagai sesama perempuan, saya malu karena kamu!" kesal Dewi.

"Bajingan kamu, Roy." Dewi melangkah pergi. Roy mengejar tapi Dewi menghempaskan genggaman tangan pria itu yang tatapannya berubah nanar.

"Kita... selesai, Roy. Aku nggak sangka kamu sebajingan ini. Kealiman kamu dipermukaan, ternyata untuk tutupi kebusukan kamu. Kurang ajar kamu, sia-sia waktuku mencintai kamu tiga dua tahun ini. Kamu gencar mendekati aku, sepertinya ada tujuan lain. Apa kamu hanya ingin harta dan tahta keluargaku? Supaya namamu terpandang? Menjual keimanan, nunjukan kamu alim, tapi ternyata... bullshit! Allah akan balas rasa sakit hatiku atas semua ini, Roy." Dewi murka, ia membuka pintu apartemen, berjalan dengan tangis hingga menghilang dari pandangan Roy yang tak bisa terjelaskan apa perasaan yang ada dihatinya.

Bagi polisi, tak butuh waktu lama untuk memeriksa semua kecurangan yang Dodo lakukan. Semua terungkap, pihak dari kantor pajak juga dengan mudah melihat laporan keuangan yang aneh sehingga menetapkan Dodo sebagai tersangka korupsi uang pajak perusahaan dan juga uang tender proyek.

Polisi memanggil Dodo untuk menyerahkan diri 1x24 jam, jika tidak, maka akan dijemput paksa. Pria itu kalang kabut, ia janji temu dengan Roy di lokasi yang sudah ditetapkan, lewat tengah malam. Kedua sepupu itu berniat kabur, karena Roy juga takut namanya terseret.

Pagi hari, Madhan hanya tersenyum sinis saat menonton siaran TV berita yang menanyangkan nama Dodo. Asya dan Iksan juga ikut menatap layar TV tipis itu.

"Tuh, Allah menunjukkan siapa mereka, kan? Tanpa Madhan yang lakuin." Madhan duduk di kursi meja makan. Bunda juga ayah hanya bisa mendesah dengan kedua bahu merosot.

"Bikin malu keluarga besar," gumam ayah. Asya dan Iksan menoleh kompak. Beberapa waktu lagi, acara resepsi pernikahan Asya dan Iksan akan di gelar, namun musibah ini terjadi.

"Kalau keluarga Ayah nggak hadir, nggak masalah, Yah," tukas Asya. Ayah menoleh, tersenyum menatap Asya.

"Madhan berangkat, ya, Assalamualaikum," pamitnya. Ia memang berniat berangkat lebih pagi, karena mau bertemu Amira yang ingin membawakan bekal makan siang untuk Madhan, mereka akan bertemu di halte depan gedung apartemen.

Sepeda motor melaju pelan, senyum Madhan mengembang sempurna karena Dodo dicari polisi, diminta menyerahkan diri. Madhan terus mengucap syukur dalam hati. Madhan hampir sampai di depan halte, ia sudah melihat Amira berdiri dengan seragam Hypermart temlat gadis itu bekerja, hingga tiba-tiba, mobil kencang dari arah belakang menabrak Madhan hingga ia terpental dan motornya hancur.

"Mas Madhan!" teriak Amira. Mobil tanpa plat nomor kabur. Madhan terlentang di atas trotoar. Amira mendekat, ia berteriak meminta tolong, hingga menimbulkan kerumunan, Madhan menatap wajah Amira yang penuh air mata dari balik kaca helm yang dikenakan. "Tolong! Panggil ambulance cepat!" teriak Amira. Ia memangku kepala Ramadhan. Pria itu tersenyum hingga perlahan pandangannya kabur dan berubah gelap.

***

Amira menangis hebat sambil memeluk Mutia. Deni, Vino dan Caca juga berada di rumah sakit itu. Tepatnya ruang operasi. Mutia terus menenangkan Amira yang tangannya masih gemetar dengan lutut lemas. Ayah dan bunda berada di kantor polisi, bersama Iksan, semenyara Asya menghubungi keluarga ibu juga ayahnya memberi kabar Madhan kecelakaan dan meminta doa supaya operasi Madhan berjalan lancar.

Pintu ruang operasi terbuka, brankar di dorong dua perawat, membawa Madhan ke ruang ICU. Dokter berdiri di depan Amira dan Mutia. "Alhamdulillah, operasi lancar. Pan di kaki kiri yang patah sudah terpasang, luka dalam tidak ada yang perlu dikhawtirkan, hanya memar di dada juga tulang rusuk sebelah kiri, dokter akan memeriksa terus kondisi pasien. Jangan khawatir, ya, saya permisi."

Semua mengucap syukur. Amira memeluk Mutia erat. "Calon suamimu nggak papa, sana temui. Izin dokter dulu, boleh ke dalam ICU sekarang apa nggak," ujar Mutia. Amira mengangguk, ia berjalan menyusul dokter. Semua saling menatap, senyum mengembang karena Madhan tidak ada dalam kondisi mengkhawatirkan.

Ayah yang geram, meminta polisi segera menyelidiki. Jangan sampai pelaku lolos, pasti ada CCTV di depan gedung apartemen yang menangkap gambaran mobil yang menabrak Madhan.

"Bun... kalau sampai feeling Asya benar. Siap-siap Ayah murka ke keluarga Ayah," gumamnya. Bunda hanya bisa menghela napas.

"Ayah, Bunda, Asya baru saja telepon. Madhan sudah di ICU, sudah sadar, ada Amira yang temani. Asya masih nunggu untuk gantian masuk ke ICU, operasi Madhan berjalan lancar," tukas Iksan.

"Alhamdulillah, ayo, Yah, kita ke sana, Bunda mau ketemu Madhan," ucap bunda begitu tak sabaran menemui sang putra.

Bersambung,

Buthor nggak mau sok misterius tutupi pelaku, udah pasti duo sepupu itu, lah, ya... 🙂

Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang