Janji temu

1.2K 299 32
                                    

Hai...
______

"Gimana kerjaan kamu?" Suara ayah mendadak memecah keheningan saat makan sahur. Ia menanyakan kepada Madhan.

"Alhamdulillah, baik. Enak juga jadi OB, nggak ada beban," sahut Madhan saat selesai menelan suapan terakhir. Ayah melirik.

"Maksud kamu? Nyindir Ayah?" Sorot mata tajam diperlihatkan pria hidung bangir itu.

"Nggak. Emang Madhan jadi OB, kan, dan emang Ayah kesindir? Dari sebelah mananya?" balas Madhan.

"Ayah serius tanya, kerjaan kamu gimana?" Suara itu melembut.

"Baik alhamdulillah. Madhan betah, dan kerja sesuai hobi." Akhirnya Madhan menjawab dengan jujur.

"Gaji berapa? Dapat tunjangan apa aja?" lanjut ayah.

"Nggak besar kayak keponakan Ayah yang sukses semua itu. Gaji Madhan kecil. Ayah nggak perlu tau, takut malu." Madhan beranjak, membawa piring kotor ke bak cuci, tak lupa ia mencuci piring bekas makannya juga.
Ia kembali ke meja makan, melihat bunda memberi kode dengan lirikan mata, meminta Madhan duduk. Ia nurut, kembali duduk di sebelah bunda, bersebrangan dengan ayahnya.

"Di kantor Roy, ada lowongan kerjaan divisi marketing, tatto kamu bisa kamu tutupin pakai jaket kalau kerja di lapangan, kalau dipanggil ke kantor, pakai kemeja lengan panjang. Kamu bisa langsung duduk di posisi Supervisor, semuda udah diatur Roy."

Madhan tersenyum sinis. "Nggak, makasih, Yah. Lagian, Madhan nggak kompeten ada dibagian itu. Madhan udah seneng kerja diposisi sekarang."
Ia menolak mentah-mentah.

"Roy telepon Ayah semalam, kasih tau info ini. Kenapa harus kamu tolak tawaran ini? Kerja kalau tanpa koneksi sekarang susah Madhan. Apalagi dengan posisi yang enak. Kamu jangan sombong, dikasih kemudahan minta yang sulit."

Madhan terkekeh remeh. "Ayah, nggak usah repot-repot, Madhan bisa cari kerja sendiri, dan udah terbukti, kan? Lagian, tumben, Roy mau dimintain tolong sama Ayah, apalagi bawa-bawa Madhan? Ada apa?" pancing Madhan.

"Nggak ada apa-apa, dia cuma bilang kalau kantor tempat dia kerja lagi buka lowongan dan dia kepikiran kamu. Madhan... terima tawaran baik keluarga. Jangan sombong dan membangkang terus." Kini tatapan ayah berubah cepat menjadi kesal. Madhan meneguk air putih, tersenyum sesudahnya.

"Makasih tawarannya. Madhan tolak. Bukan apa-apa..., karena, tumben. Bertahun-tahun bahkan, dari kecil, Roy nggak pernah bersikap ramah apalagi menawarkan sesuatu ke Madhan dalam hal apa pun, kok, tiba-tiba..., gini aja, deh, Yah. Ayah coba cari tau dulu tujuan Roy apa tawarin kerjaan ke Madhan. Apa... dia mau tutupi sesuatu supaya Madhan bungkam?" Ia beranjak, kemudian berjalan ke arah tangga menuju kamarnya, bersiap ke masjid untuk mengumandangkan azan subuh.

"Madhan! Maksud kamu apaan!" bentak ayah sambil beranjak cepat juha berkacak pinggang. "Sombong sekali kamu jadi anak, ya... udah merasa hebat, huh?!" Sorot mata penuh amarah juga tersinggung terlihat dari dua bola mata yang mulai berubah abu-abu karena usia.

Madhan menghela napas panjang. Ia berbalik badan, bertemu muka dengan ayah. "Yah, tanya Teh Dewi, kenapa acara nikahannya diundur. Teh Dewi emang belum resmi jadi bagian keluarga kita, tapi... keluarga udah rangkul dia seolah jadi mantu padahal belum menikah sama Roy, kan? Silakan tanya. Satu lagi, Yah...  A Dodo, jangan Ayah banggain dia terlampau tinggi. Awas... kecewa." Madhan melangkah lagi.

"Bun! Anak kamu apa-apaan, sih! Mau menghina keluarga Ayah! Merendahkan juga?! Fitnah apa yang Madhan mau sebar karena kebencian dia sama sepupu-sepupunya!" Nada bicara ayah begitu tinggi. Bunda beranjak. Ia tampak merosotkan bahunya.

"Tanya sendiri keluargamu. Anak-anak kita selalu diam direndahkan, diacuhkan. Ayah tuh, buka mata sama hati. Sadar, taubat, anakmu makan hati dari dulu sama perlakuan keluarga. Mungkin aja kali ini kebusukan mereka perlahan terbongkar. Hiii... amit-amit kalau sampai beneran hal buruk terjadi. Semua media bisa nyorot keluarga Ayah yang luarrrr biasa ter-pan-dang." Bunda melangkah ke arah kamar. Ayah mengikuti.

Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang