Bunda heboh

1.1K 264 22
                                    

Happy reading!
________________

Mutia memberikan nomor ponsel adiknya ke Madhan, mau tak mau, pria itu menyimpannya. Ia mendekat ke mobil Caca, Deni dan Caca kembali penasaran dengan apa yang baru saja Mutia obrolkan dengan Madhan.

"Ada, deh," cengir Madhan. Mobil keluar dari parkiran hotel menuju ke kantor lagi. Selama perjalanan, Madhan tak henti berpikir tentang dua sepupunya itu. Rasanya ingin ia mengeluarkan unek-unek yang selama ini ia pendam.

Getaran ponselnya membuat ia tersadar dari lamunan, nama Bunda muncul. Madhan mengusap layar ponsel dengan jemarinya. "Assalamualaikum, Bun," sapanya setelah benda pipih itu ia letakkan di telinga.

"Waalaikumsalam, di mana, Nak?"

"Di jalan mau ke kantor, motor di sana, baru selesai buka puasa bersama. Ada apa, Bun?" tanya Madhan.

"Nggak papa, Bunda mau tanya aja. Kak Asya sama Iksan nginap di rumah orang tua Iksan, jangan malam-malam, dong, pulangnya. Bunda BT, nih. Nggak ada yang diajak ngobrol," keluhnya.

"Kan, ada Ayah," kata Madhan diakhiri tawa.

"Ck. Nggak seru. Udah tidur juga Ayah kamu. Bunda tungguin kamu pulang, ya," sambung bunda lagi.

"Siap, Bun, tunggu Madhan, ya, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, hati-hati, ya, Dhan."

"Lo deket banget sama Bunda lo, ya?" Deni bersuara.

"Iya," jawab Madhan singkat.

"Seru, ya, masih ada Ibu. Ibu gue udah  nggak ada dari gue SMP." Deni tersenyum miris.

Madhan menoleh. "Kirim doa terus, terutama di saat lo salat dan kangen beliau."

"Lo sih masih enak ada bokap lo yang luar biasa baik. Gue... yatim piatu. Diurus Tante gue yang bisanya jadiin gue kayak babu. Makanya gue milih ngekos sendiri dari SMA, cari duit dari bantu Ibu kantin jualan." Kalimat Caca membuat Madhan menoleh ke belakang.

"Biaya sekolah, lo?" Madhan penasaran.

"Gratis, karena dapat bantuan program anak yatim piatu. Lulus SMA gue kerja sambil kuliah, jadi tukang bersih-bersih di kafe punya dosen gue yang mau kasih bantuan. Biaya kuliah, gratis lagi. Dapat beasiswa." Caca tersenyum, tapi Madhan bisa melihat kegetiran hidup dari dalam sorot matanya. Madhan kembali duduk tegak. Ia merasa tersentil, ternyata, jalan hidup dua teman kerjanya ini lebih berat dari pada dirinya yang sempat kabur dari rumah, meninggalkan kedua orang tuanya yang masih ada dan lengkap.

***

Madhan mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang, ia menikmati terpaan angin malam hari saat kaca helmnya ia buka. Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, jalanan juga masih ramai. Menjelang lebaran, lalu lintas arus mudik juga mulai ramai. Sen kiri ia nyalakan, berbelok masuk ke gerbang perumahan. Tak lama, ia tiba di depan rumah, bi Sari membukakan pagar. Pembantunya itu sengaja belum tidur karena menunggu Madhan pulang juga.

"Bunda udah tidur?"

"Belum, lagi teleponan sama siapa tadi, ya, lupa Bibi. Madhan mau makan lagi, nggak? Ibu tadi bikin puding tahu, enak banget." Bi Sari mengacungkan ibu jari ke arah Madhan.

"Nanti Madhan ambil sendiri, Bibi tidur aja, udah malam. Nanti kecantikan paripurnanya luntur," goda Madhan yang justru mendapat pukulan pelan pada lengannya. Ia berjalan masuk melalui pintu dapur. Suara bunda berbincang dengan seseorang di telepon hanya bisa membuat Madhan tersenyum tipis, ia mengkode bunda jika dirinya ke kamar dahulu untuk mandi, bunda mengangguk.

Selesai membesihkan diri, Madhan segera mendekat ke bunda, ia cium pipi wanita itu kemudian merebahkan dirinya dengan kepala berada di pangkuan bunda.

"Kapan-kapan main ke sini, ya, makasih, lho, tadi udah bantuin Bunda waktu di supermarket. Assalamualaikum," ucapnya. Bunda meletakkan ponselnya. Madhan terpejam.

Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang