Hai lagi... halo.. halo... hehehe
________Madhan mengambil piring di dapur, semua orang sudah selesai makan, hanya tinggal dirinya duduk sendiri di meja makan. Sebenarnya ada kesengajaan juga mengulur waktu untuk makan bersama, Madhan sudah merasa kehadirannya tak penting bagi ayah dan para tetua lainnya. Jadilah ia memilih mengaji dahulu hingga mereka selesai makan.
Nasi, lauk udang saos padang dan tumisan jamur menjadi makanan yang ia santap begitu nikmati dihari ulang tahunnya. Ia tak mau ada perayaan, apalagi kehebohan kejutan dengan sorakan juga teriakan, baginya cukup Madhan nikmati juga syukuri bersama keluarga inti, ya... walau ayahnya tak mengucapkan apa pun, tak mengapa.
Madhan makan dengan tenang, masakan bunda selalu membuat mulutnya tak henti mengunyah. Sejak pulang ke rumah, berat badannya sudah naik dua kilogram. Makan di rumah, masakan bunda, walau cuma sayur asam dan tempe goreng pasti jadi daging.
Ia makan seorang diri, hanya TV menyala yang menemani. Asya dan Iksan tak di rumah, sudah bersiap salat isya dan tawarih di masjid.
"Madhan, ke masjid, kan?" tanya Bunda yang sudah memakai mukena warna putih.
"Iya, dikit lagi selesai makan. Madhan nyusul nanti ya, Bun," sahutnya. Bunda mengangguk. Terdengar suara kakak-kakak ayah beranjak juga pamit. Semua tak acuh ke Ramadhan, padahal mereka melihat ke arah meja makan. Madhan diam saja, hanya melirik lalu kembali makan.
"Bilangin Madhan, belajar sopan santun lagi!" kesal Melani, Uwak tertua.
"Nanti dikasih tau. Madhan nggak akan begitu kalau Teteh nggak mulai. Maaf ya, Iin bilang gini. Yang tau anak Iin, ya Iin, jangan pojokin Madhan terus karena nggak sependapat sama kalian. Maafkan Iin juga kalau didik anak belum bener, menurut kalian, menurut Iin sih, udah bener, karena Iin yang ajarin banyak hal sebagai orang tua, bukan cuma disumpal materi dunia. Iin duluan, Ayah ke masjid juga ya, assalamualaikum," pamitnya.
"Nanti nyusul, Bun," jawab suaminya. Jarak rumah dan masjid hanya seratus meter. Malu jika tak ke masjid, kan. Bunda berjalan sendiri, tak masalah baginya, toh, di masjid nanti bertemu tetangga lainnya.
Di dalam rumah, Madhan mencuci piring bekas ia makan padahal bi Sari melarang. Madhan bersikeras. Bi Sari hanya bisa menghela napas. Ia bersiap ke masjid, berganti baju gamis pria warna abu tua dengan celana panjang semata kaki warna hitam. Ia menuruni anak tangga cepat, berpapasan dengan ayahnya yang juga akan ke masjid.
"Ayah duluan. Jangan berangkat bareng." Begitu ketus dengan lirikan sengit. Madhan mengangguk, malas berdebat, ia pun berangkat ke masjid setelah ayahnya cukup jauh berjalan.
"Ya Allah, Bapak sama anak sendiri gitu amat," lirih bi Sari setelah mengunci pagar.
Salat Isya dan tarawih selesai pukul sembilan, selama salat juga, bunda dan Asya yang bersebelahan tak henti bersyukur dalam hati karena mereka bisa merasakan tarawih bersama-sama lagi dengan anggota keluarga lengkap. Mereka sengaja mengulur waktu, ingin tau apa yang Madhan lakukan setiap selesai tarawih. Setelah beberapa waktu berlalu, bunda dan Asya memang tak menyempatkan melihat, tapi kali ini benar-benar diniatkan.
Masjid sudah sepi, bunda dan Asya membuka tirai pembatas, terlihat Madhan sedang menyalakan alat vacum pembersih, tak lupa mematikan AC masjid. Madhan membersihkan karpet. Dua wanita itu beranjak, berpindah ke area luar. Iksan yang berdiri di dekat pagar masjid sambil menikmati jajanan wedang ronde, hanya terkikik geli melihat kelakuan istri dan mertuanya. Setengah jam berlalu. Mereka kini melihat Madhan menyapu lantai luar masjid, ia fokus.
"Sya, pesen wedang ronde satu untuk Adekmu, sana," pinta bunda yang duduk di teras masjid.
"Bun, kok belum pulang?" tanya Madhan saat melihat Iin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)
SpiritualitéTiga tahun lamanya, Madhan tak pulang ke rumah, ia kabur karena tak tahan dengan perselisihan ia dan kedua orang tuanya. Asya, kakak perempuan Madhan, ia menginginkan adiknya pulang, ia mencari keberadaan sang adik atas informasi yang akhirnya ia da...