Diluar rencana

1.2K 269 27
                                    

Semangat membaca!
__________

Polisi masih terus mencari pelaku penabrakan, mereka kabur, jejaknya menghilang. Lucunya, keluarga besar ayah justru lepas tangan, tak mau tau atau peduli dengan Dodo juga Roy yang sudah ditetapkan sebagai pelaku karena dari CCTV terlihat jenis mobil, juga stiker kecil yang merupakan identitas salah satu anggota klub mobil sport merek tersebut. Mobil milik Roy.

Ayah murka, ia menggebrak meja saat pertemuan keluarga itu diadakan di rumah Toni, ayah dari Roy yang juga adik kakak kandung ayah Madhan.

"Selama ini, saya merasa tertipu dengan keluarga saya sendiri. Tidak sangka, sepupu sendiri bisa mencelakai saudaranya. Saya akan cari mereka berdua sampai dapat! Sampai saya tau ada yang ikut menyembunyikan keberadaan mereka berdua, saya jamin, akan iku terseret ke penjara!

Selama ini mata saya buta dengan kontrol kalian semua, Kakak kandung dan Adik kandung, semua pura-pura sayang dengan keluarga saya. Kurang ajar kalian semua!" bentakan suara ayah menggema. Bunda ikut beranjak, pun Iksan yang memilih cuti bekerja untuk mengurus masalah itu.

"Jangan kalian muncul diacara Asya, saya tidak sudi. Pura-pura baik kalian semua. Sekarang Allah buka topeng kalian semua. Sambung obor silaturahmi apa kalau gini caranya! Mendiang Abah dan Umi nangis kalau lihat kalian semua begini. Madhan hampir mati karena Dodo dan Roy! Pikir pakai otak kalian!" Masih dengan amarah meluap, bunda mengusap dada suaminya. Semua keluarga diam, termasuk para keponakan yang selama ini hobi merendahkan Asya juga Madhan.

"Saya menyesal apa-apa percaya omongan kalian. Dikontrol Teh Melani sebagai Kakak tertua, tapi ternyata, justru saya mengorbankan perasaan anak sendiri yang terlihat buruk padahal hatinya baik." Air mata ayah luruh.

"Kalian semua, dengar ucapan saya ini, ya. Tidak akan saya muncul dikeluarga ini lagi. Mau apa pun yang sedang kalian hadapi, hadapi sendiri. Saya tidak peduli. Kalian bisa anggap saya tidak ada lagi, atau tidak pernah ada dihidup kalian! Keluarga macam apa ini! Silau harta duniawi! Saya menyesal! Ramadhan... harus merasakan ulah saya yang terlalu percaya kepada keluarga sendiri padahal kalian semua... busuk!

Saya minta maaf kalau selama ini banyak salah ke kalian. Menyakiti kalian dengan kalimat saya. Cukup sampai detik ini saya di sini. Jalani hidup kalian, tanpa memikirkan saya. Saya pun tidak--akan--peduli--lagi!"

Begitu meledak laksana gunung api. Ayah lalu berjalan ke arah pintu besar rumah mewah itu. Iksan dan bunda hanya bisa mengekor. Kunci mobil direbut Iksan dari tangan ayah yang gemetar, ia tak akan membiarkan ayah mertuanya yang mengemudikan mobinya.

Di dalam mobil, tangis ayah pecah, ia menyesal, sungguh menyesal. Bunda membiarkan suaminya meluapkan dengan air mata, ia tau, sesak di dalam dadanya tak bisa tertahan lagi.

Di rumah sakit. Teman kerja Madhan menjenguk secara bergantian, kaki kiri Madhan di gips, hal itu menjadi bahan guyonan Deni dan Caca, mereka menggambar di sana. Dasar tim kreatif dan juga desain, Madhan hanya bisa tertawa.

"Mas Vino, Mbak Tina, saya kan, belum tentu sembuhnya cepat, kalau misal saya dipecat, nggak papa. Saya nggak enak kalau harus cuti lama-lama, baru juga kerja." Madhan sudah bisa menunjukkan cengirannya.

"Santai..., cuti karena kecelakaan kayak gini, sepuluh hari. Dan kerjaan kamu, sementara sampai kamu merasa sehat lagi, dikerjakan freelancer, udah dapat, kok. Kita tunggu kamu pulih, sayang lah kalau lepasin asset penting perusahaan." Vino tertawa.

"Iya, Dhan. Jangan khawatir, kita bukan perusahaan yang kaku, lagian bidang kita kan, jasa juga kreatif, jadi  bisa fleksibel," sambung Tina. "Udah kami bahas kemarin dengan orang HRD juga. Dokter juga bilang kalau dua bulan maksimal kamu bisa aktifitas lagi, kan? Pakai tongkat atau kruk juga nggak papa Madhan, kamu kan nggak yang jalan-jalan mondar mandir setiap saat."

Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang