Kesempatan Emas

1K 259 13
                                    

Happy reading!
________________

Madhan sudah siap berangkat wawancara kerja, ia diminta tak perlu memakai pakaian resmi seperti kemeja dan celana bahan, cukup berapakaian santai namun rapi. Terpilihkan kemeja polos biru dongker dipadu celana denim warna cokelat muda. Sepatu baru yang dibelikan Asya juga ia kenakan.

Memang, mau tak mau ia harus melipat lengan kemeja hingga hampir siku, memperlihatkan tatto yang ada di kedua lengan.

"Dhan, udah mau berangkat?" tanya bunda.

"Udah, Bun, jam delapan janjiannya. Bunda kok nggak istirahat aja di kamar?" Madhan menenggak air putih hingga tandas.

"Mau siapin sarapan untuk kamu. Sarapan dulu, ya, sedikit aja." Tangan bunda sudah menyendokkan nasi goreng ke atas piring. Madhan diam, tak menjawab apa pun. "Jangan pikirin Ayah, ayo makan, duduk sini deket Bunda." Wanita itu sudah menarik kursi meja makan. Madhan duduk, tak lama, Bi Sari datang dari arah luar, baru pulang belanja sayur.

"Bu, lengkap semua, mau dimasak siang apa sore?" tanya bi Sari.

"Siangan aja, dirapihin aja dari sekarang. Makan siang di rumah ya, Bibi masak sop daging kacang merah, kesukaanmu." Bunda mengusap kepala Madhan yang sedang menikmati makanannya, sambil menatap datar. "Bunda belanja pakai uang Iksan, Kakak iparmu semalam kasih Bunda uang belanja. Jadi, kamu harus makan yang banyak, jangan goreng telur pakai kecap tiap hari. Bunda sedih, karena ucapan Ayah, kamu sampai stok telur beli sendiri, makan pakai itu terus dan kadang beli warteg. Padahal di meja makan, makanan lengkap dari lauk sampai sayuran."

Madhan tersenyum, "nggak masalah, Bun, tiga tahun ini Madhan udah biasa makan seadanya, tetep enak, kok," senyum Madhan.

"Tapi, mulai sekarang nggak boleh. Uang belanja dari Ayah, Bunda simpen aja. Asya juga nanti yang handle belanja kebutuhan bulanan. Jadi, andil Ayah di sini soal uang belanja, bisa dibilang nggak ada urusan. Oke?" Bunda kembali mengusap kepala putranya. Madhan mengangguk, ia bersyukur bunda tak memihak ayah, karena kadang, ada suami istri yang kompak mojokin anaknya, ikut terpancing sehingga si anak hanya bisa menahan kesal di dalam dada. Tapi Bunda, ia bisa bersikap walau harus berantem dengan suami sendiri.

"Madhan berangkat, Bun, sarapannya enak banget. Doain lancar ya, wawancaranya. Assalamualaikum," pamitnya.

"Waalaikumsalam, Nak, hati-hati, ya." Bunda mencium kedua pipi sang putra. Ia juga ikut mengantar hingga ke pagar rumah, Madhan jalan kaki hingga ke ujung jalan, memanggil tukang ojek untuk mengantarkan dirinya ke halte busway. Mobil ada dua, punya Asya juga sedang tak digunakan karena masih cuti tapi, Madhan tak mau menggunakan mobil.

"Bu..., Bapak panggil," ujar bi Sari. Bunda mengangguk, ia berjalan kembali masuk ke dalam rumah. "Ada apa, Yah?" Bunda menghampiri suaminya ke ruang TV, tampak suaminya masih tampak mengantuk.

"Ngapain Bunda di depan? Ngobrol sama siapa?" tanyanya.

"Madhan. Mau berangkat wawancara kerja, Bunda antar sampai depan, terus dia jalan kali sampai ke pangkalan ojek," jawab bunda.

"Wawancara di WO punya temennya Asya itu?" Kembali ayah bertanya.

"Iya, mudah-mudahan rejeki Madhan," sambung bunda.

"Halah. Jadi tukang foto, apa yang bisa dibanggain, buang-buang waktu!" celetuk ayah. Bunda berdecak sembari menggelengkan kepala.

"Jangan mulai, Yah. Di sini udah ada menantumu tinggal samlai rumah mereka jadi, tandanya..., kamu lebih baik jangan suka nyeletuk tentang Madhan." Bunda kemudian berjalan ke dapur, membuatkan kopi untuk suaminya. Sementara ayah hanya bisa diam sambil menyalakan TV.

Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang