Hai... Extra part hadir 😊
_____"Mas Madhan, yakin aku ikut nggak papa?" Amira masih ragu saat Madhan memintanya ikut ia ke luar kota, tak jauh, hanya ke lokasi wisata yang ada di puncak Bogor, klien WO tempatnya bekerja, meminta foto prewedding di sana.
"Iya, nggak papa, udah bilang ke Tim juga Mas Vino." Madhan masih bersiap di depan cermin, sementara Amira terus menatap suaminya yang masih sedikit pincang saat berjalan. 7 bulan pasca operasi patah tulang kering, Madhan memang tak ingin memforsir dirinya untuk berjalan begitu lama atau berdiri, sungguh ia ingin cepat berjalan normal, namun dokter melarang jika Madhan terburu-buru.
Madhan menarik kursi meja rias, ia duduk di depan Mira. Mencondongkan tubuh ke depan, memeluk pinggang ramping istrinya yang duduk di tepi ranjang.
"Hitung-hitung bulan madu, Mira." Senyum Madhan mengembang, anggukan kepala istrinya membuat Madhan memeluk sambil mengusap punggung Mira. "Siapa tau, bonus pulang dari sana, kamu hamil," bisiknya yang juga memberikan ciuman di pipi.
"Kalau... belum hamil juga?" Mira tampak sendu. Ia sangat ingin punya anak, apalagi melihat Asya yang sudah besar perutnya, membuat ia begitu mengharapkan ada buah cintanya dengan Madhan mendiami rahimnya.
"Sabar... Allah pasti kasih waktu yang tepat. Banyak berdoa, kalau kita udah usaha tapi belum juga, anak Kak Asya anggap anak kita juga. Lagian Kak Asya pasti minta bantuan kita jaga anaknya nanti, Kak Asya, kan, kerja."
Mira mengangguk. "Iya, sih, Mas... lagian kata dokter, kita berdua sehat, kan, nggak ada masalah apa pun."
"Bener banget, janga dipikirin, pokoknya usaha terus aja." Madhan tersenyum penuh arti, dengan memainkan alis matanya naik turun. Mira tertawa sambil memalingkan wajah. Tangannya meraih salep yang sudah ia taruh di dalam tas.
"Hampir lupa. Tangan kamu belum dikasih salep. Minggu depan balik lagi ke sana, kan?" Mira membuka tutup salep, kemudian mengeluarkan isinya, ia oleskan pada luka bakar ringan bekas Madhan menghilangka tatto.
"Jelek banget tanganku, ya," keluh Madhan.
"Makanya, pikir dulu sebelum bertindak. Amit-amit jangan sampai anak-anak kita ngikutin kamu. Pokoknya nanti, anak-anak harus bisa terbuka cerita apa aja ke kita, jangan sampai kesalahan orang tuanya diulang lagi sama mereka karena memendam kekesal dan kecewa." Amira tak sekedar mengancam, ia memang ingin Madhan tau, jika bisa saja suatu hari dimasa depan, kesalahannya yang membuat tatto di tubuh, akan terulang oleh anaknya.
"Iya, Mira, aku taubat banget. Konyol emang, pikiranku kacau saat itu. Setelah aku belajar lagi lewat nonton kajian-kajian, atau datang langsung, aku ketampar banget," lanjut Madhan. Keduanya masih duduk berhadapan, dengan Madhan yang menggenggam jemari Amira.
"Emang kapan kamu lakuin itu? Waktu masa pelarian kamu?"
"Iya. Aku kan nomaden, alias pindah-pindah tempat tinggal. Kadang tidur dan mandi di masjid, dapet empat hari, pergi lagi ke masjid lain, sampai temenku yang kasih kerjaan freelance fotografer kesel, dia mau sewain kontrakan untuk aku, tapi aku nolak. Nggak enak, ngerepotin." Madhan nyengir.
"Bagus, kamu malah jadi bisa banyak belajar, kan? Karena pindah-pindah." Mira mengusap wajah suaminya begitu lembut. "Manusia, memang harus kesandung, jatuh, rasain sakit dulu sebelum berdiri pelan-pelan, sembuhin luka, dan akhirnya jalan normal lagi juga lebih hati-hati. Kamu... belajar dari hal itu. Sekarang, kita belajar berdua, jangan sendirian aja. Suami istri itu, kan, kayak botol ketemu tutupnya, tubuh dan pakaiannya. Kita ke kajian bareng, Mas, atau streaming bareng. Jangan pintar sendirian."
Madhan mengangguk. Ia lalu mengecup kening Mira. "Yuk... kita tunggu jemputan dateng. Mas Vino sewain tim yang berangkat mobil travel.
"Bawa tasnya ke depan, aku kunciin pintu sama cek yang lainnya." Amira mematikan lampu kamar, mengecek jendela. Madhan berjalan ke luar, tak lupa Mira mengunci pintu kamarnya juga. Namun ia terkejut saat Madhan berdiri di belakangnya, membuat Mira bersandar pada pintu saking terkejutnya. "Ada apa?" Mira mengernyit bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)
SpiritualTiga tahun lamanya, Madhan tak pulang ke rumah, ia kabur karena tak tahan dengan perselisihan ia dan kedua orang tuanya. Asya, kakak perempuan Madhan, ia menginginkan adiknya pulang, ia mencari keberadaan sang adik atas informasi yang akhirnya ia da...