Sama saja

988 235 15
                                    

Happy reading!
_______________

Kaki Madhan mengikuti Asya turun dari atas bis. Di sudut kiri tempat mobil terparkir, sudah ada sosok pria yang berdiri di sambing mobil sedan warna hitam.

"Itu, Kak?" bisik Madhan. Asya mengangguk. Keduanya berjalan hingga tiba di depan Iksan.

"Assalamualaikum," sapa Asya yang menunjukkan senyum sumringah. Ramadhan mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Iksan.

"Ramadhan, Adeknya Kak Asya," ucapnya.

"Iksan, calon Kakak ipar kamu," balas Madhan diakhiri senyuman. Jabat tangan terlepas, Asya hanya bisa tersenyum melihat hal itu terwujud, calon suami dan adiknya saling berkenalan.

"Ayo, kita makan siang, udah jam satu," ajak Iksan sembari membuka pintu penumpang belakang untuk Asya. Wanita itu tertawa pelan.

"Kok, tau?" cicitnya sembari menatap. Iksan hanya tersenyum tanpa menjawab apa pun.

"Kenapa nggak Kak Asya yang di depan?" tanya Madhan. Riuh suara kendaraan bis, angkutan umum, juga orang-orang yang lalu lalang, membuat pria itu harus sedikit berteriak saat bicara.

"Nggak papa. Duduk depan aja," jawab Iksan. Madhan membuka pintu, ia melesak masuk tanpa bicara lagi.

Iksan melajukan mobil ke arah yang dituju, tempat makan Iga bakar favorit ia dan Asya. Selama perjalanan, Madhan terus diam, sudah lama tak menginjakkan kaki di Ibu kota, banyak yang berubah setelah tiga tahun.

"Mas Iksan, boleh mampir ke Starbuck, drivethru aja. Aku mau beli green tea latte," pintanya.

"Boleh, dong. Lo mau kopi, Dhan?" tawar Iksan. Madhan menoleh, entah harus jawab apa karena pria itu tampak santai saat bicara 'gue'.

"Boleh," jawab Madhan. Iksan tersenyum tipis. Ia menyalakan lampu sen kiri, kemudian masuk ke rest area, mengarahkan ke kanan sedikit karena posisi Starbuck ada di depan pombensin yang juga tempat istirahat.

"Sya, turun aja, yuk. Lo bisa nyetir mobil, kan? SIM masih berlaku?" Iksan memarkirkan mobilnya di depan tempat itu.

"Bisa, dan masih ON SIMnya," sahutnya.

"Oke." Iksan turun, Madhan pindah posisi duduk juga. Sepasang calon suami istri itu berjalan ke dalam Starbuck.

"PDKT sama Adekku tau banget langkah-langkahnya, ya, Mas," goda Asya. Iksan tersenyum sambil mendorong pintu, mempersilakan wanitanya masuk lebih dulu. Jangan bayangkan pegangan tangan, rangkulan, atau kecupan di kening. Hal itu tak kan terjadi dikeduanya. Sabar, toh, sebentar lagi jadi suami istri. Asya sudah memesan tiga minuman juga beberapa kue yang semuanya take away,  keduanya duduk berhadapan sambil menunggu pesanan selesai.

"Ada hal apa lagi yang mau diomongin, Mas?" Asya merapikan hijabnya. Iksan tersenyum sembari bertopang dagu melihat Asya yang cantik natural tanpa polesan mekap, hanya lipglos yang ia kenakan.

"Nikahnya, dipercepat bisa?" jawabnya.

"Hah?! Kenapa?!" Asya membulatkan kedua matanya. Sungguh ia terkejut dengan ucapan Iksan.

"Aku takut, namanya manusia, Sya, pasti ada khilafnya. Aku sadar gimana aku sayang dan cinta banget sama kamu. Niat ini udah aku sampaikan ke orang tuaku juga orang tua kamu, pagi tadi, aku ke rumah kamu kasih tau ini. Ayah... agak serem ya, Sya, sedikit bentak aku karena hal ini nggak sesuai sama apa yang beliau bayangkan. Aku cuma takut fitnah aja. Jadi... Asya, kita resmikan minggu depan, akad nikah aja, resepsinya tetap di tanggal dan bulan itu. Akad nikahnya mau di rumah atau KUA langsung nggak papa. Gimana, Sya?" Iksan menatap penuh harap. Asya bisa apa selain menyetujui, memang ia tau hal itu, takut menimbulkan fitnah juga makin deket godaan setan.

Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang