Hari raya

1.1K 288 29
                                    

Halo... jika hari raya lebaran kita masih beberapa waktu lagi, di sini duluan ya 😊
_____________

Madhan masih menatap lekat ayahnya. Ia tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.

"Ayah... ada dipihak kamu, Madhan. Ayah, ya..., Ayah egois, bukannya coba dengerin pendapat kamu, justru--"

"Jangan paksa hati Ayah untuk terima Madhan kalau sebenarnya Ayah masih nggak bisa percaya anak sendiri. Masa iya, secepat ini Ayah berubah? Atas dasar apa? Apa kali ini Ayah justru manfaatin Madhan karena takut terseret kasus A Dodo?"

Tatapan Madhan penuh curiga. Wajar saja ia berpikiran seperti itu. Saat ia kabur bertahun-tahun, kenapa ayahnya tidak merenung. Justru sekarang baru dilakukan setelah keluarga tergoncang karena riak masalah yang mulai memercik ke mana-mana.

"Madhan pergi dulu, assalamualikum," pamitnya sambil melangkah ke arah motor miliknya yang terparkir. Ayah membalas dengan tetap duduk di tempat.

Bunda muncul, duduk di sebelah ayah setelah Madhan pergi semakin jauh. "Bisa kan, kalau Ayah mulai bicara. Madhan itu anak kita, kita yang harusnya lebih tau dia seperti apa. Bukan terus memojokkan hingga akhirnya menjauh." Bunda menghela napas panjang. "Madhan... dia tau sesuatu tentang Dodo dan Roy, tapi nggak mau cerita ke siapa pun, bahkan ke Asya. Ayah... Bunda minta, Ayah jangan datang ke rumah Teh Melani atau keluarga lain, akan ada bencana besar bagi keluarga kamu sebentar lagi. Buah dari kesabaran Madhan diinjak juga direndahkan keluargamu. Allah yang buka satu persatu, bukan putramu yang membukanya." Bunda beranjak kembali, berjalan masuk meninggalkan suaminya yang menatap nanar.

Ramadhan pulang membeli takjil, ia segera memarkirkan kembali motornya. Ia meraih ponsel yang bergetar di saku celana, terlihat Roy mengirimkan pesan singkat kepadanya. Lagi-lagi, Roy mengancam jika Madhan harus bungkam. Ia tak membalas, membiarkan saja hingga berlanjut ke telepon masuk dari Roy yang juga enggan ia jawab.

"Bun, ini es campur sama kue pukisnya," ucap Madhan sembari meletakkan bungkusan ke atas meja makan.

"Makasih, sayang. Eh iya, Madhan, coba hitungin bingkisan lebarannya, udah lima puluh belum. Tolong, ya, Nak," pinta bunda.

"Okey, cantik ...," balas Madhan. Bunda mengedipkan sebelah mata ke putranya, mereka kompak tertawa. Saat Madhan sedang menghitung ulang bingkisan lebaran. Suara mobil Asya dan Iksan terdengar, mereka pulang juga. Asya berjalan ke dalam rumah lebih dulu, menyerahkan bingkisan kue dari mertuanya. Bunda segera menerima dengan senang hati.

"Dhan, ada berita heboh apa? Di grup Whatsapp keluarga udah ramai," tanya Asya yang ikut duduk melantai bersama Madhan.

"Biasa lah, ada bangke busuk mulai kecium. Lihatin aja apa yang bakal terjadi." Madhan tetap lanjut menghitung sambil menjawab pertanyaan Asya.

"Tapi kamu nggak macem-macem sampai cari perkara ke mereka, kan? Aku takut, karena hal ini kamu jadi sasarannya." Asya jelas saja khawatir, manusia jika sudah terpojok apalagi emosi, akan gelap mata. Tak memandang itu saudara, teman atau hanya kenal biasa, bisa tega dicelakai.

Madhan tertawa pelan, ia menoleh ke Asya. "Kak... kalaupun mereka coba jahatin Madhan, mereka yang akan rugi. Serius. Kakak bisa lihat dan tau Madhan nggak mau bocorin apa yang Madhan tau tentang mereka."

Asya tersenyum, "alhamdulillah kalau gitu. Aku tenang," tukas Asya lagi. Ia beranjak, menyusul suaminya yang sudah naik ke lantai atas, menuju ke kamar mereka. Untuk apa juga Madhan mau bocorin, bukan urusannya walau emang, Madhan suka bicara dengan menyindir.

***
Takbir menggema, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Riuh suara anggota keluarga yang berkumpul membuat Madhan tak sabar ikut bergabung. Madhan kembali menggendong keponakan yang masih bayi, hal itu menjadi bahan ledekan sepupunya yang mengatakan jika ia sudah pantas menikah. Asya juga makin mengompori, membuat Madhan hanya bisa tersenyum.

Iksan asik berbincang dengan sepupu Asya yang pria, tak ada kesombongan yang di elu-elukan, justru banyak canda tawa yang membuat Iksan ikut tertawa lepas.

"Kamu cantik banget," ucap Madhan saat duduk sambil memangku bayi cantik itu. "Gemes, ih," cicit Madhan. Ayah mendadak duduk di sebelah Madhan yang duduk di sofa ruang tamu seorang diri, karena di ruang tengah sedang digelar karpet besar untuk ruang tidur para pria, sedangka  wanita dan anak-anak, ada yang di kamar Asya juga Madhan. Bi Sari sudah mudik, berangkat siang hari, diantar Madhan ke terminal, tak jauh, Bi Sari hanya mudik ke Bandung.

"Sini, Ayah mau gendong. Mau latihan jadi Kakek," pinta ayah. Madhan memindahkan gendongan ke tangan Ayah. Bayi itu bergeliat pelan, lalu ayah mulai menggoda hingga bayi itu menunjukkan senyumnya.

"Kapan mau lamar Amira, kamu nggak mau pacaran, kan?" Madhan terkejut mendengar pertanyaan ayah.

"Madhan belum siap. Bukan berarti nggak pacaran, nggak kenal dia juga, Madhan nggak mau," tolaknya.

"Tinggal di sini, kan, setelah kamu nikah nanti?" Ayah menatap Madhan lagi.

"Enggak. Madhan tinggal di tempat lain." Madhan berbicara masih ketus ke ayahnya. Keduanya terdiam, tak tau mau membahas apa-apa lagi hingga ibu dari bayi menghampiri, mengambil alih anaknya yang akan ia susui.

Tinggal lah Madhan duduk bersama ayah. Pria tua itu menoleh ke sang putra. Meraih tangan Madhan, memerhatikan tatto yang tergambar di sana.

"Hapus. Jelek tanganmu. Kayak bulukan." Ayah lalu melepaskan tangan Madhan. Melirik tajam.

"Iya nanti. Udah, ah, nggak udah sok baik, atau basa basi, Yah. Madhan masih nggak ngerti kenapa Ayah mendadak berubah baik begini dan perhatian ke Madhan setelah--" ucapannya terhenti. Madhan menatap ayahnya yang menunduk.

"Madhan... nggak bermaksud untuk--"

Ayah menangis, kedua bahunya naik turun dengan cepat. Sepertinya rasa penyesalan itu begitu luruh bersama air mata yang semakin deras mengalir. Madhan tetap berdiri, kedua matanya juga mulai terasa panas, dadanya pun sesak. Untuk pertama kali seumur hidup ia melihat ayah menangisinya begitu pilu.

"Maafin Ayah... Madhan..." terdengar parau suara pria dengan segala sikap kasar, arogan, angkuh juga perkataan yang menyakitkan hati Madhan.

Madhan duduk perlahan di sebelah ayahnya, bersamaan dengan tangannya menari tangan ayah lalu memeluk erat. "Maafin Ayah, Madhan, maaf...!" tangis keduanya pecah. "Maki Ayah, balas perbuatan Ayah yang udah bikin kamu sakit hati. Ayah pantas kamu hukum!" suara ayah membuat semua keluarga menghampiri ke ruang tamu. Namun, berubah haru dengan tangis juga. Asya dan bunda tak kalah terisak. Apa yang selama ini mereka idamkan, terwujud di depan mata. Perang dingin berakhir saat malam takbir.

Esok harinya, sepulang salat Idul Fitri, semua saling maaf memafaakan, ayah dan bunda duduk di kursi ruang tamu, seluruh anggota keluarga bari antre untuk sungkeman karena bunda anak yang dituakan. Dimulai dari Asya dan Iksan. Air mata luruh dari kedua pengantin baru itu, meminta maaf terasa menyentuh kalbu, yang terkadang susah terucap dibibir padah hati menjerit kata maaf berkali-kali.

Berganti ke Madhan, ia menunduk sambil berjalan dengan kedua lututnya. Ia memeluk bunda dan ayah berbarengan, tangis ketiganya pecah setelah Madhan mengucapkan berkali-kali kata maaf, selain karena kesalahannya yang kabur, juga karena dua kali lebaran ia tak pulang ke rumah, justru lebaran sendirian di perantauan.

Bunda dan ayah mencium pipi Madhan, Asya mengabadikan momen itu dengan kamera milik Madhan, tak lama terdengar sorakan...

"Cieee... baikan juga akhirnya!" Tangis berubah menjadi tawa. Keluarga bunda memang akhirnya tau jika Madhan kabur karena bertengkar dengan ayahnya, mereka ikut prihatin dan berdoa semoga akan ada kata maaf yang terucap. Ayah masih terus memeluk putra kebanggaannya, rindu terbalas, karena Madhan kembali dengan cengiran khas sambil mencubit perut buncit ayahnya. Keduanya tertawa. Si anak hilang pulang, dan si ayah sombong kapok.

Bersambung,

Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang