Prolog

418 45 10
                                    

Sinar mentari menyorot jalanan, memperlihatkan sekelompok anak-anak kecil yang baru saja pulang dari sekolah. Salah satu dari mereka berseru sambil tersenyum ceria.

"Teman-teman, ayo main ke rumah aku!"

Anak-anak lain memandangnya dengan berbinar, mereka sering mengecap anak itu sebagai 'si anak kaya'. Entah panggilan darimana, anak itu memang faktanya dari keluarga kaya raya. Ayahnya seorang pemilik entertainment terkenal, serta Ibunya seorang pembawa acara internasional. Namun beberapa hari sebelumnya, Sang Ibu meninggal dunia, karena jatuh sakit. Si anak kaya itu tetap tampil ceria dan senantiasa tersenyum. Hanya saja, selera anak itu menjadi aneh.

"Kok mainnya Barbie, sih? Kamu 'kan cowok," komentar salah satu temannya.

"Emangnya kenapa kalau cowok mainan Barbie?" tanya Si anak kaya dengan tatapan polos.

"Barbie kan mainan cewek," jawab salah satu temannya yang lain yang membuat Si anak kaya itu mengerucutkan bibirnya.

"Siapa bilang? Siapa aja boleh mainan Barbie, kok. Ini juga, aku pakenya Barbie yang cowok, bukan yang cewek."

"Kamu aneh, aku nggak mau temenan sama kamu lagi."

Semenjak itu, Si anak kaya yang memiliki senyum ceria menjadi pribadi yang tertutup. Selain seleranya aneh saat sejak kecil, kini terbawa sampai besar. Ia sering membeli barang-barang yang tidak penting dengan uang dari Ayahnya. Entah membeli kertas emas, gigi emas, Barbie limited edition dan lain-lain.

Saat sang Ayah mengetahui hal itu, ia langsung berhadapan dengan anaknya setelah pulang dari kantor. Menatap anaknya yang sedang bergoyang ria sambil mendengar musik lagu korea lewat headset yang ia bawa pulang dari singapura.

"Nak, Papa mau ngomong."

"You have stolen my heart, oh, yeah!"

Ayahnya mengurut pelipisnya pelan saat melihat tingkah anaknya. Selain barang yang tidak penting dibeli olehnya, anaknya juga sering membeli album idolanya. Sudah berkali-kali ikut fansign, konser dan juga sering pulang-pergi ke luar negeri demi bertemu dengan idolanya.

"Nak," panggil Ayahnya. Sepertinya sang anak tidak mendengar, malah ia bergoyang semakin energik.

"Never let it go, oh, oh, no, never let it go, oh, oh, oh. Lightning straight to my—ayam mati kodok!" Sang anak terkejut saat tahu kalau Ayahnya sedang menarik kupingnya dari belakang.

"A-aduh, sakit, Pa!" Anak itu mencengkeram tangan Ayahnya, berusaha melepaskan diri.

"Kamu dipanggil-panggil nggak nyaut. Ikut, Papa."

Teman KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang