3. Percakapan Di Jalan Mawar

540 128 10
                                    

Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh 'kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti

Di mana ada musim yang menunggu?
Meranggas merapuh
Berganti dan luruh
Bayang yang berserah
T'rang di ujung sana

Banda Neira

•••♪♪♪•••

Jalan Mawar tidak pernah sepi sekalipun malam buta mengambil peran. Seperti halnya sekarang, Jendra menikmati bagaimana ia harus melanju dengan kecepatan sedang di jalan kesukaannya. Melewati beberapa pedagang gado-gado yang baru saja memulai perjuangan. Rindangnya pepohonan disepanjang jalan menambah kecintaannya kepada jalan yang tak kunjung ia lupakan. Sebabnya ada kisah tersembunyi yang hanya kepada semesta ia ceritakan.

Di pertigaan jalan di depan, Jendra membelokkan motornya. Memandang satu persatu rumah sederhana tapi dijamin kenyamanannya. Sudah lama Jendra tidak kesini, terakhir 3 bulan yang lalu saat ia mengantar Haedar yang sempat jatuh dari sepeda motor. Setelahnya tidak pernah lagi ada kunjungan, bukannya Jendra tidak ingin hanya saja kegiatannya yang begitu padat apalagi ia sebagai mahasiswa tingkat akhir.

Jujur saja, Jendra lebih menikmati duduk di bawah pohon di dekat salah satu komplek di jalan Mawar ini daripada rebahan di rumah. Walaupun hanya berbekal uang 30 ribu, Jendra benar-benar mendapat semuanya di sini. Mulai dari gado-gado yang satu porsi masih dalam kategori sangat ramah bagi dompetnya, dan Jendra lebih senang minum teh daripada kopi. Tentu saja di sepanjang jalanan menuju komplek akan dijumpai para pedagang yang tak henti-hentinya berjuang.

Tapi tujuan Jendra ke jalan Mawar kali ini bukan untuk duduk santai di bangku pohon, melainkan untuk menyelesaikan beberapa kegundahan dalam perasaanya. Awalnya Jendra sudah ingin ke sini minggu lalu, tapi tak kunjung tersampaikan niatnya karena mendadak Sarah minta diantar mencari buku, ditambah bocah itu tengah marahan alias ngambek sama Haedar.

Motor nya berhenti di sebuah rumah sederhana dengan cat putih namun terlihat nyaman karena di depannya ada pohon mangga dan di samping kiri rumah itu, ada banyak bunga tulip terlebih lagi tulip kuning.

Kedatangannya rupanya sudah ditunggu oleh sang tuan rumah, terlihat jelas bagaimana laki-laki seumuran Jendra sudah berdiri di depan pintu.

"Jen, apa kabar lo?" Sapa sang tuan rumah  begitu Jendra turun dari motornya.

"Baik, lo sendiri gimana?"

"Gak kalah baik dari lo."

Lalu Jendra mengambil tempat di sebelah Hadden-- tuan rumah yang menjadi salah satu alasan nya kembali menjelajah Jalan Mawar.

"Jen, gue sengaja nyiapin teh duluan buat lo. Masih suka teh kan?"

Bahkan Jendra tidak menyangka jika Hadden mengingat bagaimana rasa kecintaannya terhadap segelas teh dari rumah ini. Setelah dicicip untuk pertama kalinya setelah sekian lama tak bertemu dengan rasa khas nya, dan ajaibnya rasa nya masih sama seperti terakhir kali Jendra duduk di sini.

"Teh nya masih sama kaya terakhir kali gue kesini. Gue pikir rasanya udah beda dan lo udah lupa kalau gue sebegitu suka nya sama teh. Makasih Den, buat teh nya." Ucap Jendra kembali pada mata dengan sabitnya.

"Mana mungkin beda rasanya, mana mungkin juga gue bisa lupa sama kebiasaan dan kesukaan temen baik gue."

Setelah nya mereka sama-sama tertawa lepas. Entah menertawakan apa, yang pasti tawa mereka kali ini di dasari karena rasa rindu teman lama.

Kita Dan Semesta | Jeno Ft Yeji ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang