Di seberang sana
Harapan menghampa
Berlalu melaju
Meninggalkan ragaBermunculan seketika
Dari segala arahSimpanlah semua suara yang hadir
Menyapa relung sukmamu
Kejarlah setiap mimpi dan anganmu
Biar tenang hidup kau jelangPada terang kita berharap
Dalam gelap kita berjuangPusakata
•••♪♪♪•••
Di sore yang sedikit mendung, asap knalpot yang sudah melekat pada jalanan dan sebuah toko buku tua yang masih kokoh berdiri di ujung jalan dekat pasar malam.
Sebuah rutinitas jika setiap akhir bulan Jendra mampir ke toko buku tua itu. Kalau ada waktu senggang, bisa saja setiap hari Rabu ia mampir. Untuk sekedar melihat-lihat buku atau bahkan sekedar minum teh sambil menemani Kong Tarchi, pemilik toko buku ini.
Jendra pertama kali menemukan tempat setenang ini saat Bang Mahen mengajaknya membeli buku komik untuk Sarah yang saat itu tergila-gila dengan komik. Awalnya Jendra tidak terlalu menyukai tempat ini, tapi lama-kelamaan tempat ini menjadi salah satu tempat favoritnya. Bagaimana musik sederhana yang menenangkan di putar dan segelas teh yang mampu memberhentikan waktu.
"Cari komik buat Ara kah?"
Langkah Jendra yang tadinya menyusuri beberapa rak buku mendadak terhenti saat lelaki dengan celana panjang dan kaos putih polos terlihat membawa kipas rotan keluar dari balik pintu ruangan disamping meja.
"Iya Kong, kaya biasa."
Kong Tarchi lantas tertawa lepas. Sudah sangat hapal dengan alasan kenapa Jendra bisa berada di sini setiap akhir bulan.
"Ara pasti sudah besar, kakaknya saja sudah mau lulus kuliah."
Ara, begitu Kong Tarchi memanggil Sarah. Bukan tanpa alasan, Sarah kecil sangat tergila-gila dengan panggilan Ara. Katanya menyesuaikan umur. Sampai ia menginjak jenjang SMA, mulai menyukai panggilan Sarah yang terkesan lebih sedikit dewasa ketimbang Ara yang melekat pada jiwa kanak-kanaknya.
"Minum dulu ini teh mu, Jendra. Kong sudah buatkan kaya biasanya."
"Siap Kong, makasih banyak." Lalu Jendra bergabung duduk dengan Kong Tarchi. Melupakan sejenak pencariannya pada komik titipan Sarah.
Kong Tarchi sendiri seorang keturunan Tionghoa yang sudah sejak lama tinggal di sini, mendedikasikan hidup nya untuk menikmati bagaimana Ibu Kota ini menjadi tempatnya menutup mata, nantinya. Hidup sendiri, karena anak-anaknya sudah memiliki arah sendiri dan kabar tidak menyenangkan, istri Kong Tarchi sudah meninggal sejak 5 tahun lalu.
"Kemarin Abang mu itu kesini ngasih kabar kalau dia mau lamaran. Kong kaget tiba-tiba didepan pintu dia sudah berdiri. Kalian sudah pada dewasa dengan baik. Bagus lah."
Terkadang jika lelah, Jendra akan kesini untuk merasakan pijatan tangan dari Kong Tarchi. Atau mencicipi masakan Kong. Yang jelas apapun yang melekat pada tempat ini, Jendra menyukainya.
"Iya Kong, namanya juga proses. Kong makin lama malah keliatan tambah muda." Puji Jendra.
"Mana ada. Kong ini sudah tua bukan nya tambah muda." Kong lantas terkekeh sampai-sampai mata nya sedikit membentuk sabit, dan tawa khas orang tua. Jendra mengagumi setiap sudut ruangan ini. Bau buku-buku yang menjadi candu baginya.
"Hari ini tanggal 30, tepat 5 tahun istri Kong meninggal. Rasanya baru bulan lalu dia pergi." Ucap Kong Tarchi. Setelah istri Kong meninggal, Jendra tidak pernah mendengar kata rindu yang langsung terucap dari Kong melainkan sebuah kalimat yang menggantikan kata rindu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dan Semesta | Jeno Ft Yeji ✔
Teen Fiction-SELESAI- [REVISI] ❝Tentang tulip dan kisah cinta yang abadi antara dua hati.❞ Cover from pinterest