17. Gelas Kaca

213 66 6
                                    

Hilang dahan
Burung berhenti terbang
Hilang pohon tempatnya beregang
Air naik
Menelan lahan-lahan
Kipas yang memutar angin panas

Duh, mana yang lebih panjang
Umurku atau umur bumiku bernaung?
Duh, mana yang lebih besar
Egoku atau ketidaktahuan yang terpasung?

Dere

•••|♪♪♪|•••

Siang ini salah satu jalanan di Jakarta lumayan sepi, jarang-jarang hanya ada beberapa motor saja yang lalu lalang. Disalah satu kursi pinggir jalan, tepatnya di bawah lampu jalan yang menghadap ke jalan, Kalesha duduk di sana seorang diri. Menikmati keterdiaman dirinya sendiri, memandang lampu yang masih mati.

Jika dipikir-pikir, dia dan Jeya pernah duduk di sini. Menikmati teh es di plastik, menikmatinya dengan sedotan warna-warni. Harusnya ada Nadine di tengah-tengah mereka, namun Nadine harus pulang ke Surabaya karena Oma yang mendadak dilarikan ke rumah sakit.

Siang itu, tepatnya 5 tahun lalu saat keduanya masih memakai seragam putih abu-abu, mereka seolah menikmati jalanan yang sangat ramai, bisingnya motor yang lewat justru menambah kesan damai daripada suram.

"Orang tua gue, berantem lagi. Mereka malah bawa-bawa cerai, sampai rebutin gue."

Siang itu setelah eskul PMR, jam 4 sore, Kalesha terus terang tentang masalahnya beberapa hari belakangan ini.

"Lo nya gimana?"

"Ya gue kabur ke rumah lo lah, ingat gak pas hujan-hujan gue diantar Hadden pulang?"

Jeya nampak berpikir, matanya ke sana ke mari mencari ingatannya. Sampai akhirnya matanya melotot, nyaris saja tersedak teh es, "Gue ingat, jadi lo kabur? Harusnya lo bilang aja ke gue sama Hadden kalau lo lagi kabur. Untung aja Hadden gak di gebug Papa lo pas nganter lo pagi-pagi."

Jeya ingat betul bagaimana tampang Hadden yang nampak kesal dipaksa untuk mengantarkan Kalesha pulang, apalagi saat itu masih subuh dan hujan deras.

"Gue terlanjur kaget mereka berantem. Ah udahlah, capek banget gue bahas ginian. Cerai ya udah cerai tapi kenapa harus ributin gue, dikira gue barang kali ya?"

Dapat Jeya lihat Kalesha bersandar pada sandaran kursi. Menghela napasnya berat sambil menggigit sedotan miliknya.

"Mulutnya, kalau masih bisa diperbaiki kenapa harus pisah?"

Sore itu memang sangat terik, untungnya mereka memilih tempat yang tepat, di bawah pohon yang cukup besar di sampingnya ada lampu jalan yang ternyata masih bertahan sampai lima tahun ke depan. Ditambah, teh es hasil perjuangan mereka di kantin sebelum pulang.

"Diperbaiki kaya gimana? Mereka itu udah masing-masing sama hidupnya, walaupun masih di satu atap. Kadang Ya, gue ngerasa kalau gue itu di rumah cuma sama Bibi. Pagi-pagi banget Mama gue udah pergi, Papa gue jarang banget di rumah."

"Coba lo ngomong pelan-pelan sama mereka, bilang kalau lo sebenarnya keberatan sama waktu yang mereka punya di rumah. Lo pernah dengar gak tentang gelas kaca yang pecah?"

Kalesha spontan menegakkan tubuhnya, mengangguk samar pada Jeya yang tengah menatap tukang ojek di depan mereka.

"Kata orang-orang gelas kaca yang pecah gak bisa diperbaiki lagi, kan? Makanya langsung mereka buang. Padahal wawasan mereka yang kurang luas. Gelas kaca itu sebenarnya bisa dipakai lagi, Sha. Walaupun emang gak sesempurna awal dan fungsinya beda lagi, tapi kan masih bisa diperbaiki dan dipakai lagi. Biar gak buang-buang," untuk sesaat, Jeya kembali menatap Kalesha yang tengah menatapnya dari tadi.

Kita Dan Semesta | Jeno Ft Yeji ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang