16. Ruang Rindu

250 66 6
                                    

Tak pernah kuragu dan s'lalu kuingat
Kerlingan matamu dan sentuhan hangat
Ku saat itu takut mencari makna
Tumbuhkan rasa yang sesakkan dada

Kau datang dan pergi, oh, begitu saja
Semua kut'rima apa adanya
Mata terpejam dan hati menggumam
Di ruang rindu kita bertemu

Letto

•••♪♪♪•••


Seperti pasar Minggu Pagi yang seminggu sekali paginya selalu ramai. Seperti jalanan yang tak pernah senyap, pasar malam selalu ramai.

Langkah Jendra terbawa begitu saja untuk melangkah menelusuri apa saja yang ada disini. Terakhir kali ia kesini saat tahun lalu, menemani Kalesha yang entah mencari apa. Tapi sekarang Jendra kembali melangkah disini, sendiri.

Malam ini cukup cerah, beberapa hari belakangan tidak ada hujan yang turun ke Ibu Kota. Mungkin saja sang hujan sengaja menghindar dari makian manusia Ibu Kota yang enggan dijumpainya.

Mata Jendra tak pernah lepas dari beberapa pedagang yang pernah ia jumpai disini. Ingatannya kembali menilik keadaan tempat ini saat beberapa waktu lalu. Tahun lalu tempat diujung pasar masih belum diisi, tapi sekarang tempatnya sudah penuh.

Pandangan Jendra teralih pada pedagang pentol goreng yang nampak ramai. Turut bergabung pada antrian untuk memesannya. Dulu saat menemani Jeya kesini, Jendra selalu memesankan pentol goreng ini, perisis dengan apa yang Jendra lakukan sekarang. Hanya saja, Jendra memesannya untuk dirinya sendiri.

Sambil menikmati perlahan pentol goreng itu habis, Jendra kembali melangkahkan kakinya semakin dalam. Masih banyak sekali yang ingin ia ulang ditempat ini, kembali merasakan malam itu berakhir dengan sebuah permintaan Jeya untuk memberikannya jepit rambut berwarna merah muda sebagai hadiah ulang tahunnya.

Benar saja, saat Jendra semakin berjalan kedalam ia menemukan penjual aksesoris yang sama seperti malam itu. Penasaran apakah masih sama seperti malam itu atau tidak, Jendra menghampirinya.

Hal mengejutkan saat Jendra menemukan kembali jempitan rambut yang sama seperti milik Jeya. Entah bisikan apa yang merasuk dalam hatinya, Jendra kembali membeli jepitan rambut itu, sama persisi seperti apa yang ia lakukan malam itu.

Jendra kembali berjalan masuk semakin dalam. Entah sadar atau tidak, Jendra kembali membuka luka lama yang perlahan sembuh.

Ditengah-tengah keramaian malam ini, Jendra tetap merasa jika hanya ada dirinya sendiri. Ditepi jalan pasar, ia tersenyum saat melihat anak kecil yang merengek dibelikan permen kapas.

Jeya pernah mengatakan, jika menjadi manusia baik tidak harus selalu memberikan apa yang orang lain mau. Katanya malam itu, "Aku punya alasan kenapa terus hidup sampai sekarang. Aku pengen banget dekat sama orang-orang yang hidupnya kurang beruntung, misalnya yang orang tuanya cerai atau ya dia punya takdir yang gak seberuntung kita."

Jeya mengatakan itu sambil perlahan menyuap sesendok nasi uduk. Untuk beberapa detik Jendra terdiam, Jeya melupakan satu hal jika dirinya sendiri juga memiliki takdir yang kurang beruntung.

Selama mengenal Jeya, perempuan itu tidak pernah mengeluh akan hidupnya yang hanya mempunyai Hadden. Justru dia selalu mengatakan jika semuanya sudah sangat cukup. Kadang Jendra jadi merasa minder, dirinya yang bahkan lebih beruntung dari Jeya saja masih sering mengeluh seakan semuanya masih kurang.

Saat akan diperjalanan menuju pulang, Jeya juga pernah menanyakan apakah dirinya sudah cukup untuk dicintai Jendra. Diatas motor, dengan posisi Jeya yang memeluk Jendra.

Kita Dan Semesta | Jeno Ft Yeji ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang