Catatan: Cerita ini hanya fiksi, bila ada kesamaan nama tokoh, latar, dsb., itu hanya kebetulan semata.
Tema: Terima Kasih
Hari ke-2***
Setelah mata pelajaran ke-3 selesai, seluruh siswa dan siswi di sekolah dipulangkan tanpa terkecuali. Aku dijemput oleh sopir pribadi, sedangkan Serhan pulang menggunakan sepedanya. Kami berpisah di gerbang sekolah.
Ponselku berdering begitu aku memasuki ruang tamu. Aku menyalakan ponsel, nama si penelepon tertera di layarku. Mama. Panggilannya kuterima dengan perasaan malas. Lagian, sejak kapan pula orang yang mengaku sebagai mamaku ini menelepon di hari yang super-duper 'sibuknya' itu?
"Ada apa?" tanyaku singkat.
"Veira ...." Mama terhenti, seperti sedang menahan sesuatu. "Papa, Vei ...," katanya dengan suara bergetar.
"Papa kenapa?"
Terdengar suara tangis tersedu-sedu dari seberang sana. "Papa ... meninggal."
Aku menelan ludah, berusaha menyerap kata-kata itu ke dalam pikiran. Papa ... meninggal? Hah, itu tidak mungkin! Tiap Papa menanyakan kabarku, jika diamati dari suaranya seperti tidak ada masalah. Bagaimana mungkin bisa tiba-tiba ...?
"Ini bercanda?" Mungkin Mama sedang menggelengkan kepalanya sekarang—tak sanggup mengatakan sesuatu. Suara tangisnya bukan main-main, kurasa hal ini memang ... serius.
Aku menghentikan langkah, melempar tas ke atas sofa. "Ma ... katakan sesuatu." Mataku mulai berkaca-kaca. Hanya tangisan yang membalas kalimatku. Tubuhku terduduk di lantai, tidak terima akan kenyataan.
Lihatlah perlakuanmu ke Papa, Vei .... Bukankah ia lebih baik dibandingkan dengan Mama? Tidakkah kamu bisa sedikit mengacuhkannya?
Kalimat-kalimat itu sedang terngiang di kepalaku. Rasa menyesal dengan sikap masa bodohku yang ditujukan kepada Papa terpatri di dalam hati. Tapi terlambat. Menyadari saja tidak, bagaimana mungkin bisa untuk memperbaiki?
"Pa-Papa ...." Aku terisak. Tiba-tiba teringat peristiwa berharga. Dulu, pernah sekali seumur hidupku, aku didongengkan sebuah kisah tentang keluarga yang sempurna oleh Papa. Papa ingin keluarganya seperti mereka, perhatian satu sama lain dan saling mengasihi, tapi keadaan tidak memungkinkan, Papa harus terus bekerja di tempat yang jauh dari anak gadisnya.
Hari itu, mood-ku anjlok seketika, hanya makan seperempat dari biasanya, minum secukupnya—itu pun bila ingat. Hari itu juga, aku merenungkan sikapku kepada Papa dan Mama selama ini.
***
"Vei, yang kuat ya," ucap Serhan di telepon. "Aku paham betul perasaanmu sekarang, karena aku pun pernah merasakan hal yang sama. Tapi, tolong jangan lupa jaga kesehatan."
Aku hanya mendengarkan, tak membalas.
"Aku 'gak menyuruhmu langsung semangat, kok, Vei. Semua butuh proses untuk menerima."
Aku mengiakan. "Terima kasih, Han."
"Sekiranya sudah merasa lebih baik, besok Minggu kalau mau jalan ajak aku aja, kebetulan luang."
Aku tersenyum kecil. 'Lagian mau ajak siapa lagi selain kamu, Han?' batinku.
"Iya, nanti kukabarin lagi. Tutup dulu ya, Han, sudah malam." Aku pamit, lalu menutup panggilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lapangan Kehidupan
Short StoryHidup tidak seperti jalan tol, selalu ada tikungan tajam di tiap perjalanannya. (Antologi cerpen) Sᴛᴀʀᴛ: 8 April 2022 Fɪɴɪsʜ: 27 April 2022 * * * DILARANG KERAS PLAGIAT!!! Cover by Pinterest