𝙿𝚊𝚢𝚞𝚗𝚐 𝙽𝚎𝚗𝚎𝚔 • 02

0 0 0
                                    

Catatan: Cerita ini hanya fiksi, bila ada kesamaan nama tokoh, latar, dsb., itu hanya kebetulan semata.

Tema: Hidup
Hari ke-19

(Belum revisi)

***

Hujan deras membasahi jalanan desa. Tempiasnya sampai ke teras depan. Awan tidak gelap, tetapi cuaca tak bersahabat.

Aku menatap jalan dari bingkai pintu, bingung. Hari ini hari pertama puasa, aku tidak mungkin melewatkan tradisi buka bersama itu. Namun, apalah daya, deras hujan tidak memungkinkanku untuk menerobosnya tanpa pelindung dan sampai di masjid dengan cepat. Jarak dari rumah ke masjid lumayan jauh, agak sulit kalau nekat.

Nenek menghampiri, menepuk pundakku lembut.

"Pakai payung ini, Reren." Nenek menyodorkan sebuah payung ukuran. b. besar berwarna biru.

Aku menerimanya. "Nenek ikut, tidak?"

Nenek mengangguk, menutup pintu rumah. "Ayo berangkat, Ren."

Kami akhirnya tetap pergi ke masjid meski dengan cuaca seperti ini. Di tengah perjalanan hujan mulai mereda. Begitu sampai di tujuan, hanya tersisa gemercik hujan yang hampir sepenuhnya berhenti.

Aku menutup kembang payung, menyimpannya di sisi masjid, tempat penyimpanan payung-payung. Aku dan nenek beranjak menghampiri para warga yang sedang menyiapkan persiapan berbuka.

Nenek mendekati kawan-kawannya, sedangkan aku melihat-lihat sembari memikirkan apa yang bisa kubantu.

"Ni ... na?" Aku mencoba menyapa seseorang di hadapanku. Ia sedang menggelar tikar.

Gadis itu menengok, memperhatikan wajahku saksama. "Eh, Reren?!" serunya terkejut.

Aku membalas senyum. "Na, rumahmu dekat masjid?"

Ia mengangguk.

"Wah, baru tahu aku."

"Memang kamu enggak tarawih di sini tadi malam?"

"Enggak, tadi malam tarawihku di musala dekat rumah, masjid ini lumayan jauh, sih. Jiwa malasku menggebu-gebu, Na." Aku tertawa kecil. Nina ikut tertawa.

"Kalau tahu rumahmu dekat masjid, seharusnya tiap sore aku ke sini bersamamu, Na. Sedih banget deh jalan sendiri mulu," tuturku.

Dia tertawa lagi. "Boleh, deh, besok sore kita ngabuburit, yuk! Selesainya langsung ke masjid buat buka bersama," usulnya.

Wajahku berseri. Senang sekali rasanya saat tahu Nina tinggal di dekat sini. Dia gadis yang baik, teman keduaku di sekolah.

Begitu percakapan singkat itu usai, aku ikut membantu mengelar tikar, dan bantu-bantu menyiapkan makanan berbuka.

Kami berbuka dengan sebuah kurma dan kolak ubi buatan dari beberapa tetangga.

Hiruk pikuk orang-orang yang berbincang memenuhi penjuru masjid.

The end.

***

-Selasa, 26/04/22

Lapangan KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang