𝚂𝚎𝚓𝚊𝚝𝚒 • 02

0 1 0
                                    

Catatan: Cerita ini hanya fiksi, bila ada kesamaan nama tokoh, latar, dsb., itu hanya kebetulan semata.

Tema: Teman tapi Nyaman
Hari ke-13

(Belum revisi)

***

Irina mengatur keperluan, posisinya sudah siap untuk memulai suatu karya. Dia menguncir kuda rambutnya, kemudian mulai menggambar sketsa.

'Untungnya aku punya banyak ide cerita horor, jadi hari ini hanya perlu membuat story board-nya.' Irina menyunggingkan senyum.

Dirasa ceritanya sudah matang, ia tak perlu pusing-pusing lagi memikirkan alurnya. Perkiraannya, mungkin sekitar sepuluh hari juga sudah beres.

"Astaga, aku enggak menyangka kalau tokohnya jadi serupawan ini!"

Piw piw piu!

Nada dering itu berasal dari teleponnya.

"Kenapa, Dev?"

"Sudah mulai?" tanya si penelepon di seberang.

"Iya, baru banget mulai," jawabnya.

"Ohh, ya sudah lanjutkan, telepon aku kalau ada kendala. Kututup, ya ...."

Tut ... Tut ....

Irina menghela napas. "Kupikir kenapa. Kalau sebatas nanya terus tutup sekalian saja enggak usah menelepon, Dev. 'Kan bisa lewat pesan." Dia bersungut-sungut. Kemudian meneruskan aktivitasnya.

Di malam hari, Irina pergi ke dapur untuk membantu mamanya memasak. sembari berbincang-bincang hangat

"Kamu baru keluar dari kamar? Tugasmu banyak, Rin?" Mamanya membuka percakapan.

"Nggak kok, Ma, aku lagi membuat komik untuk lomba, hehe. Temanya horor, Ma, aku berusaha membuat cerita yang menegangkan tapi agak susah."

Mamanya menyemangati. "Wah, semangat, Anakku!" Irina mengangguk senang. "Sebagai informasi, Mama waktu remaja juga suka komik, lebih-lebih lagi kalau novel."

"Begitukah?"

"Iya, Papa juga suka. Kami bertemu di tempat kerja yang sama waktu itu, di tempat penerbitan buku. Eh, sudahlah, malah jadi curhat." Mamanya tertawa, lantas kembali fokus pada ikan yang sedang digoreng.

Irina kecewa, dan memaksa mamanya untuk tetap melanjutkan cerita.

Mamanya tertawa lagi, bertanya, "Dari satu sampai sepuluh, rasa penasarannya ada di angka berapa?"

Anak gadisnya menunjukkan sepuluh jari. "Dan ditambah satu."

"Aduh, maksudmu sebelas?" Mamanya terkekeh. "Ya, karena sering bertemu, lama-lama kami jadi saling kenal dan akrab. Tapi hanya beberapa bulan saja Mama bekerja di sana." Mama berhenti sejenak, mengambil napas. "Namun sebelum pergi, Papa mengatakan, 'Dinda, besok aku akan ke rumah untuk melamarmu.'. Mendengar suaranya yang begitu serius, Mama jadi berpikir dua kali, sepertinya Papa bukan bergurau. Dan kamu pasti tahu setelahnya," lanjutnya.

Irina terpesona dengan kisah kedua orang tuanya. 'Mungkin aku akan menambahkan sedikit kisah romantis, haha.'

"Kalau ada kesulitan, coba tanya Papa, mungkin dia bisa bantu," saran Mama. Irina manggut-manggut sembari memotong-motong sayuran.

***

Sepuluh hari Irina jalani dengan semangat dan sungguh-sungguh. Ia berpikir komik buatannya mungkin saja tidak terpilih untuk menang, tapi dengan mencobanya dia akan mendapat pengalaman baru. Setelah mencari berbagai tips-tips membuat komik sampai begadang, akhirnya dia dapat menyelesaikannya dengan baik. Dan hari ini merupakan hari ke-17, yaitu pengumuman pemenang.

"Dev, hari ini pengumuman menang! Aku lagi pantau, pukul 09:30 nanti," ucap Irina kepada Devan di kelas saat jam istirahat.

"Tiga puluh menit lagi, dong. Semoga berhasil jadi pemenang, ya. Komikmu super-duper keren, aku sungguh 'gak menyangka kalau ada plot twist-nya di akhir."

Ia tersipu. Yah, tapi terlalu berharap juga tak baik, jadi dia berusaha menguatkan hati jikalau kalah.

"Selamat pagi! Kalian pasti sudah enggak sabar menantikan ini, ya, 'kan?" Pembukaan oleh sang MC. "Sebelumnya kami berterima kasih banyak untuk para peserta yang sudah semangat mengikuti lomba! Kami ingin, kalian bisa mendapatkan sesuatu yang berharga dari mengikuti lomba ini."

"Wah ... MC-nya semangat banget," pujinya.

"Nah, kalau begitu mari kita memulai pengumumannya!" kata sang MC kembali. Juara diumumkan dari tiga terlebih dahulu. Begitu juara pertama disebut, namanya yang terdengar. Membuat kaget mereka berdua.

"Kamu menang loh, Rin!" seru Devan sambil menepuk pundak Irina.

Irina yang masih belum sepenuhnya sadar kalau dialah juara pertama tak merespon.

"Rin!" panggil Devan.

"Hah? Kenapa, Dev?" tanyanya seperti orang yang kehilangan arah.

"Menang ... kamu menang, Rin."

Irina mencerna kalimat Devan. Begitu sadar, ia menganga, terharu sampai matanya berkaca-kaca. "Makasih, Dev! Sudah membantuku sampai detik ini."

"Jangan menangis, Rin, enggak ada balon di sini," bujuk Devan sekaligus meledek.

"Ih, ini karena bahagia tahu!" Ia tertawa diselingi menangis.

Devan terkekeh, "Maaf. Pulang sekolah aku traktir bakso lagi, mau?" tawar Devan.

"Aku maunya mie ayam, Dev!" Irina menyahut antusias.

"Ya sudah, pulang sekolah aku janji!"

Mereka berdua terkekeh.

The end.

***

—Rabu, 20/04/22

Lapangan KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang