𝙺𝚎𝚓𝚊𝚗𝚐𝚐𝚊𝚕𝚊𝚗

0 0 0
                                    

Catatan: Cerita ini hanya fiksi, bila ada kesamaan nama tokoh, latar, dsb., itu hanya kebetulan semata.

Tema: Malam
Hari ke-16

***

Jam menunjukkan pukul 18.16. Dua orang, kakak dan adik, sedang duduk di atas sajadah selepas salat Magrib.

Mereka saling tatap, memasang wajah takut. Tidak lama suara berdencing di luar rumah terdengar kembali, seperti ketika sebelum salat tadi. Awalnya mereka pikir itu hanya suara lewat sekilas, tapi suara itu malah terus berbunyi tiap tiga detik. Membuatnya kebingungan. Kalian tahu kerincingan mainan bayi? Begitulah suara yang terdengar di telinga mereka.

Bahkan salat mereka menjadi terganggu karena suara janggal yang muncul di waktu tidak tepat itu.

Si Adik, Luna, mengeluh takut ke kakaknya. "Kak, kita harus apa? Suaranya seram sekali tahu," bisiknya.

"Kakak tahu ini menyeramkan, tapi kita harus memeriksanya ke luar, Lun." Liana, kakaknya, memberi solusi.

Luna mendesis ragu. Di luar rumah masih sepi, orang-orang belum ada yang pulang dari masjid.

"Ayo." Liana mendesak, menarik tangan adiknya hendak ke luar rumah. Namun, si adik menolak, Luna malah melepaskan pegangan tangan kakaknya dan pergi menjauhi pintu. Tidak berani.

"Ayoo, Lun!" Liana menyeret tangan adiknya, memegang tangannya erat-erat.

"Ih, 'gak mau, ah, Kak!" Luna berusaha melepas gandengan tangan kakaknya.

"Ayo, dong, temani Kakak, Lun." Liana memohon. "Kamu mau suaranya muncul terus sampai kita tid—"

Ckrkrks!

Suara itu kembali muncul, membuat kulit mereka merinding. Mata mereka berdua bertatapan. Pikiran buruk segera memenuhi kepala.

"K-Kak ...." Luna ketakutan. "'Gimana ini ...."

Hening sejenak. Suara itu tiba-tiba hilang.

"Lun, ayo lihat ke luar."

Liana mengambil barang padat berukuran sedang di sekitarnya, berjaga-jaga jika ternyata ada penjahat. Ia memberanikan diri untuk menyingkap pintu rumah, sedangkan Luna berdiri di belakang.

Sembari tangan kirinya membuka, tangan kanan Liana sudah siap siaga terangkat. Begitu teras rumah kelihatan sempurna, suara aneh itu tak muncul lagi.

Liana melangkah ke teras, celingak-celinguk. "Nah, 'kan. Enggak ada apa-apa, Lun."

"Terus tadi apa, Kak?" Luna mundur beberapa langkah, masih takut untuk keluar.

Liana berpikir. "Hmm ... mungkin daun kering yang terinjak—eh, enggak, mungkin daun itu bergesek dengan besi."

"'Gak mungkin. Suaranya konstan, bukan cuma sekali-dua kali, Kak."

Liana menelan ludah. Perkataan adiknya tak salah. Kalau memang suara itu kebetulan seharusnya tidak terus-menerus muncul.

Mereka saling memandang, entah ini yang keberapa kali. Namun, tatapan kali ini lebih dalam, mereka mulai menyadari sesuatu yang janggal.

Gedubrak!

Pintunya tiba-tiba tertutup oleh angin kencang. Menyekat mereka berdua.

"Kakak!"

The end.

***

—Sabtu, 23/04/22

Lapangan KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang