𝙼𝚎𝚖𝚎𝚗𝚍𝚊𝚖

2 1 0
                                    

Catatan: Cerita ini hanya fiksi, bila ada kesamaan nama tokoh, latar, dsb., itu hanya kebetulan semata.

Tema: Rasa yang Terpendam
Hari ke-11

***

Sore ini, aku dan beberapa teman yang tertarik dengan ajakan Anila datang ke rumahnya tanpa membawa apa pun selain tubuh dan pegangan-dompet berisi. Kemarin dia mengundang anak-anak sekelas untuk buka bersama di rumahnya, dia bilang kami tak perlu bawa apa-apa, dan makanannya ia yang akan masak. Ternyata yang datang hanya tujuh orang, dan mayoritas perempuan. Begitu sampai, kami dijamu dengan baik.

Sembari menunggu azan Magrib, kami membicarakan hal-hal random.

"Eh, aku baru tahu loh kalau Anila ternyata jago masak!" Wendy memuji, membuatnya sedikit tersipu.

"Baru belajar, kok .... Semoga enak, deh, soalnya aku 'gak mencicipi masakannya," sanggah Anila. "Eh, iya, udah mau azan, ya? Aku mau ambil masakannya dulu." Ia beranjak ke dapur.

"Aku bantu!" seru Rahma, membuntuti Anila.

Tidak lama, tercium aroma sedap dari makanan yang mereka bawa. Mereka meletakkan hidangan utamanya di hadapan kami.

"Wihh, ada mie dan udang! Aromanya enak banget!" Candra menyambut antusias masakan itu.

Anila terkekeh. "Eh, kalian minumnya suka apa?" tanyanya.

"Aku sih sirop XYZ," jawab salah satu di antara kami, Dary.

"Oh iya aku juga suka. Sebentar, biar aku buatkan." Anila kembali ke dapur, mengambil sebotol sirop dan teko, lalu kembali ke ruang depan. Ia menuangkan sirop berwarna oranye ke teko yang sudah diisi es batu di depannya. Di saat itu, dia menuangi terlalu banyak.

"Nila, itu kebanyakan!" sela Tina, menghentikan.

"E-eh? Maaf! Tapi biasanya aku bikin sirop sebanyak ini 'gak manis," ujarnya.

"Ya udah, jangan ditambah. Aku yakin segitu pasti manis, percaya deh ...." Tina meyakinkan. Akhirnya Anila menyudahi, dan lanjut mencampurinya dengan air biasa.

Setelah makanan dan minuman sudah tersedia masing-masing di depan mata, azan Magrib pun dikumandangkan. Kami membaca doa berbuka bersama, dan memulai dengan segelas air putih.

'Hmm ... rasanya tawar,' batinku.

"Mari dicoba masakanku, semoga suka, ya ...."

Aku mengangguk, meraih sendok, menyicipi mie tek-tek yang aromanya sangat menyengat dari tadi.

Wajahku menahan ekspresi kecut.'Ini ... a-asin banget, Nila!' Kupandang Anila yang sepertinya sangat menyukai masakannya sendiri. Tak lama ia menengok ke arahku, aku langsung menyenyumi paksa.

"Kenapa, Deska?" tanyanya.

"Enggak apa-apa," kilahku. "A-oh iya, orang tuamu lagi 'gak di rumah?" Aku berusaha mengalihkan.

Dia mengangguk. "Makanya aku ajak kalian buka bersama di sini."

"Eh, nanti malam sendiri dong? Mau kutemani, Nila?" tawar Rahma.

"Boleh, deh." Anila mengiakan.

Aku memandang satu per satu temanku, ada beberapa yang menjeda makannya, ada juga yang lahap memakan mie tek-tek itu-entah karena beda selera atau mungkin dia kelaparan.

"Eh, enak 'gak mienya?" Si juru masak dadakan alias Anila meminta pendapat. "Ada yang kurang?"

'Enggak, Nil, bukan kurang tapi lebih.' Aku menjawab dari dalam hati. Tapi tak apalah, aku akan menambahkan saus sambal untuk menyamarkan rasa asinnya.

"PAS KOK! UDAH!" Candra, si paling lahap makannya itu menyahut.

Anila tertawa. "Awas tersedak!"

'Saus menyelamatkan lidahku. Tapi sekarang jadi kepedasan.' Aku menatap datar mie, lalu menggapai gelas berisi sirop XYZ, meminumnya.

Glek!

'Terlalu ..., manis.' Kutatap datar mie yang kedua kalinya, lalu sirop itu. "Emm, Nila, tolong isikan air putih, dong." Tanganku menyodorkan gelas kosong yang sebelumnya berisi air putih. Dia mengambilnya, lalu mengisikan air dari teko.

Di saat yang lain asik menikmati makanan, aku langsung menuangkan air putih di gelas tadi ke gelas lain yang berisi sirop XYZ. Kemudian meminumnya.

'Nah, ini baru pas!'

Setelah mieku habis, aku mencicipi udang asam manis buatan si juru masak. Alangkah terkejutnya begitu udang itu masuk ke dalam mulutku, rasa asam dan manis yang dilengkapi sedikit rasa pedas itu benar-benar memanjakan lidahku sekarang. Bahkan ini sudah setara dengan level masakan restoran!

Aku memandang Anila, mataku berkaca-kaca. 'LEZAT BANGET!' Ia menatapku balik.

"Kenapa, Deska?" tanyanya yang kedua kali.

"Kuterka, kamu sangat suka makanan laut," tebakku sembari menghapus air mata.

Ia membelalak. "Iya! Kok tau?"

"Deska 'kan cenayang, Nil," gurau Dary, yang lain tertawa mendengarnya.

"Serius ... udangnya mirip masakan di restoran-restoran mewah, Nil, benar-benar lezat!" seruku.

Anila malu mendengarnya. "Masa, sih?" Kepalaku mengangguk yakin. Wajahnya mulai memerah.

"Ini kali pertamanya aku dipuji sama teman .... Makasih banyak ya kalian semua udah datang!" Ia terharu, hampir menangis.

Aku dan yang lain tersenyum, tapi tidak lama tawa kami lepas saat melihat wajah lucu Anila.

"Santai! Makasih juga, Nil, masakannya enak-enak!" Candra mewakili perasaan kami.

Meski semua rasanya keterlaluan. Namun rasa tawar, asin, dan manis tadi, semua rasa itu akan kami pendam demi tidak menyakiti hatimu.

The end.

#Bonus
"Des, Dra, tapi mie buatan Anila terlalu asin 'gak, sih?" tanya Dary saat di perjalanan menuju masjid.

Aku terkejut. "Heh, kukira cuma aku yang merasa begitu."

Candra menoleh, heran. "Eh, masa? Enak begitu, kok."

"Iya, meski begitu, menurutku semua hidangannya tetap enak," ungkapku.

Dary menyela. "Iyalah, gratis!"

Kami bertiga tertawa lepas.

***

Senin, 18/04/22

Lapangan KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang