Catatan: Cerita ini hanya fiksi, bila ada kesamaan nama tokoh, latar, dsb., itu hanya kebetulan semata.
Tema: Idola
Hari ke-10***
"Te-terima kasih ...," ucap seseorang yang barusan kutolong.
Aku menoleh, wajahnya masih sedikit syok. Belum sempat aku membalas ucapannya, seluruh teman sekelasku sudah mulai beraksi, menggoda kami.
"KIW-KIW!" goda mereka sembari tertawa. Di antaranya ada juga yang bersiul, itu sangat mengganggu.
Dahiku mengernyit, berdecak pelan.
"Em ... duluan, ya." Maezzura pergi meninggalkan lapangan.
"E-eh, iya ...," jawabku terbata-bata.
Aku memperhatikannya dari belakang, ia berjalan tergesa-gesa. Apa mungkin dia merasa terganggu dengan kelakuan tengil teman-teman sekelasku? Aduh, pikiranku jadi overthinking!
"Hei, sudah! Ayo dilanjut praktek volinya!" titah Pak Aris menengahi kericuhan.
Kami tertib, kembali melanjutkan latihan di lapangan. Begitu aku memasuki arena, teman pertamaku di SMA, Bayu, dia menyikutku yang sedari tadi masih menatap jejak laluan Maezzura.
"Jadi dia?" tanyanya.
Aku mengangguk, menyikut balik. "Bahasnya nanti saja."
Beberapa menit menjelang pelajaran berikutnya, seusai pelajaran penjasorkes, kami mengganti pakaian dengan seragam tadi pagi, kemudian kembali ke kelas.
"Ehh, Safar! Serius! Sepertinya ada bakat terpendam di dalam dirimu!" sambut Revi saat aku baru memasuki kelas.
Alisku terangkat, bingung. "Bakat apa?"
"I-tu, loh! Ta-di!" bisiknya. "Kamu cocok banget jadi pemain drama, Far!" tuturnya meyakinkan.
Aku berkelit. "Itu hanya kebetulan, Rev. Lagipun, tak ada yang namanya drama di dalam hidupku."
Aku tahu, Revi memang penyuka drama sejati. Beberapa hari lalu ada murid sekelas yang dia bilang mempunyai 'bakat terpendam' juga—sama sepertiku tadi.
Ia memasang wajah lesu, berkecil hati. Semua orang yang dia bilang punya 'bakat terpendam' pasti mengelak pernyataan itu, bahkan dari yang kulihat, mungkin aku orang pertama yang menolaknya secara halus.
"Yah, tapi bisa jadi di masa depan kamu akan bertemu seseorang dengan 'bakat terpendam' sejati yang selalu kamu idamkan itu. Tunggu saja, Rev." Aku meyakinkan. Kemudian menghampiri kursiku, duduk di sana sambil menanti guru datang.
Bayu sudah duduk manis di kursi sebelahku sejak tadi. Tapi kami tidak membahas soal dia di kelas, bisa-bisa semua anak dengar dan gosip tentangku menyebar ke seluruh angkatan. Kalau sampai terjadi, itu sih benar-benar mimpi buruk buatku. Dan syukurnya, Bayu bukan tipe orang seperti ember bocor, dia bisa diibaratkan sebagai brangkas penyimpan barang penting yang disimpan di basement rahasia.
Namun, sungguh aku tidak menyangka, ternyata hal yang tidak kuharapkan malah terjadi besok.
***
Benarlah saja, entah siapa yang membocorkan rahasia ini, tapi fakta bahwa aku menyukai kakak kelas 'Maezzura' mulai tersebar kemana-mana.
Besoknya, perhatian semua murid tertuju padaku. Dan saat di kelas, Bayu memberi tahu kalau rahasia ini tiba-tiba terbongkar begitu saja.
Aku menghela napas berat mendengar kabar itu.'Kalau begitu, apa kabar ini sudah sampai ke telinga Kak Mae?' batinku risau. Aku merasa tidak enak, takut mencemarkan nama baiknya.
Saat itu juga, aku yang baru tiba di kelas segera pergi menuju kelas Maezzura. Tapi kata salah satu temannya, "Mae lagi di taman." Tak pikir panjang, aku pun menyusulnya ke sana.
Di taman, gadis yang selama hampir satu tahun ini menjadi penyemangatku itu sedang duduk di salah satu bangkunya.
Aku mendekat, dan dengan ragu duduk di sampingnya. Mengatur napas dan memberanikan diri.
"Kak ... apa Kakak sudah dengar gosip hari ini?" tanyaku langsung ke arah pembicaraan utama. Sebenarnya aku belum pernah berbincang dengannya, tapi dengan tersiarnya rahasiaku ke satu sekolah, aku jadi berusaha sok akrab.
Dia melirik dengan ujung matanya, menatapku sekilas, lalu mengangguk. "Iya."
Aku menelan ludah, tanganku dingin karena gugup. Setelah beberapa saat, aku mulai berpikir. Mungkin daripada menunggu satu hari lagi, lebih baik aku mengungkapkan perasaan hari ini juga.
"Kak, sebenarnya gosip itu benar ...," ungkapku dengan debaran jantung tak karuan.
"Oh, ya?" Ia menengok.
Aku mengiakan. "Apa Kak Mae tidak marah? Bukankah dengan fakta ini tersebar, namamu jadi tercemar, Kak?"
Dia menutup mulut, tertawa kecil. "Hei, mana mungkin begitu! Menurutku jadi lebih keren malah," ujarnya.
Aku menatap heran.
Melihat tatapanku, ia menjelaskan, "Emm ... kesannya seperti 'seorang kakak kelas yang sangat ramah dengan adik kelasnya sampai ada yang menyukai', 'kan?"
Bukannya mendengarkan, aku malah fokus memandang wajahnya. Kali ini benar-benar rekor, aku bisa bertatapan dengannya sedekat ini! Duh, tampaknya diabetes akan menyertai tubuhku.
Juga, apakah ini sebuah keberuntungan lagi? Tengoklah, meski orang di hadapannya sok akrab, ia menyambutnya dengan baik, seakan-akan mereka teman lama. Aku jadi betah sekali berlama-lama di sini. Ternyata rahasia yang terbongkar tak selalu memperburuk keadaan.
Sungguh, aku sudah terlalu terbawa suasana sampai tak peduli lagi ia akan menolak perasaanku atau bagaimana setelah ini. Namun, aku akan tetap mengidolakannya meski dia sudah lulus. Kuharap kita dapat bertemu lagi suatu hari di masa yang akan datang.
The end.
***
—Minggu, 17/04/22
KAMU SEDANG MEMBACA
Lapangan Kehidupan
Historia CortaHidup tidak seperti jalan tol, selalu ada tikungan tajam di tiap perjalanannya. (Antologi cerpen) Sᴛᴀʀᴛ: 8 April 2022 Fɪɴɪsʜ: 27 April 2022 * * * DILARANG KERAS PLAGIAT!!! Cover by Pinterest