𝙿𝚊𝚢𝚞𝚗𝚐 𝙽𝚎𝚗𝚎𝚔 • 01

0 0 0
                                    

Catatan: Cerita ini hanya fiksi, bila ada kesamaan nama tokoh, latar, dsb., itu hanya kebetulan semata.

Tema: Hidup
Hari ke-18

(Belum revisi)

***

Saat ini panggil saja aku Reren, sebenarnya itu bukan nama asliku, tapi tak apalah, namanya pun 11/12 dengan nama asliku. Aku salah satu gadis yang hidup di desa bersama neneknya. Sebenarnya aku memutuskan menetap di desa belum lama ini, dari awal Januari kemarin. Yah, tapi bukan murni keinginanku, sih. Ini kemauan ayahku. Beberapa minggu sebelum aku pindah, ibuku meninggal—mungkin Ayah tidak sanggup bekerja sekaligus mengurusku, atau kasihan karena aku jadi kesepian di rumah.

Jujur saja, beradaptasi di desa nenek cukup sulit untukku. Berbeda dengan kota yang pergi ke sana kemari bisa dengan mudah, di desa ini transportasinya sedikit merepotkan. Di rumah, nenek hanya memiliki sebuah sepeda tua yang rentan rusak, jika bannya bocor, ataupun rantainya lepas, dengan berat hati aku terpaksa akan berjalan kaki. Namun, semua tenaga yang kukerahkan terbayar begitu aku melihat pemandangan menakjubkan di kanan dan kiriku.

Di pagi hari, saat aku berangkat ke sekolah baruku, aku akan melihat orang-orang yang berangkat kerja dengan memakai caping dan membawa sabit. Terlihat di samping mereka terdapat sawah-sawah yang mulai berwarna kuning keemasan. Nenek juga sering ke sawah miliknya, meski sudah lansia, tubuhnya itu masih kuat sekali.

Siangnya, sepulang dari sekolah, aku memutuskan untuk menulis semua kegiatanku di buku harian. Lalu membantu Nenek memasak, dan terkadang aku tidur siang.

Dari awal tinggal di sini, banyak sekali hal-hal baru menantiku. Seperti air yang harus didapatkan dengan berjalan kaki dua ratus meter terlebih dahulu. Hal itu cukup membangkitkan jiwa malas anak kota yang biasa memakai pompa jet di rumahnya, tanpa harus mengambil manual dengan berjalan kaki. Jaringan internet pun sangat sulit didapat, hingga aku bisa mengurangi jam bermain dengan smartphone.

Terlebih lagi, sekolah yang biasanya diantar-jemput, saat ini aku harus berjalan kaki satu setengah kilometer untuk mencari ilmu, dan menghabiskan waktu tiga puluh menit—yang memaksaku untuk bangun lebih pagi lagi. Terkadang hal itu menjadi lebih baik dengan memakai sepeda, itu pun kalau sepedanya sedang waras. Namun, hari demi hari membuatku lebih banyak belajar, aku juga merasa lebih betah di desa daripada di kota yang sesak penuh polusi.

Begitu sore datang, aku bersih-bersih rumah. Setelah itu pergi berkeliling desa, mencari udara segar sembari menikmati pemandangan, sesekali kuabadikan melalui foto.

Di daerah tempat tinggal Nenek, jarang sekali ada anak sebaya denganku. Kebanyakan usianya lebih muda, tinggal bersama nenek-kakeknya sebagai seorang cucu. Mereka yang sudah dewasa meninggalkan orang tuanya di kampung dan merantau ke luar desa, menjadikan para lansia mayoritas di sini.

Malam hari, aku dan Nenek biasa menonton siaran televisi bersama, atau jika tidak, Nenek sering mendongengkanku tentang kisah-kisah kehidupan yang menyenangkan.

"Reren, mau tahu kisah pertemuan kedua orang tuamu, tidak?" tanya Nenek yang sedang duduk di atas tikar. Kali ini Nenek ingin memberikan sebuah kisah yang tak kalah serunya dengan cerita-cerita kemarin.

Aku mengangguk semangat, duduk mendekat ke arahnya. "Bagaimana ceritanya, Nek?"

Nenek meneguk segelas air putih, bersiap untuk menceritakan.

"Dua puluh tahun yang lalu, ayahmu merantau ke ibu kota, persis satu tahun setelah ia lulus sekolah. Ayah pamit ke Nenek, bilang mau mencari pekerjaan di sana."

Aku menyimak dengan baik, menunggu kelanjutannya.

"Empat tahun di sana, Ayah selalu makan di satu warung yang sama. Kemudian bertemu dengan gadis pemilik kedai itu, yaitu Ibu." Nenek tersenyum. "Ayah mulai dekat dengan Ibu, mungkin sekitar dua tahun menjalin hubungan sampai akhirnya memutuskan untuk serius dan meminta restu ke Nenek."

Aku manggut-manggut. Sungguh kisah yang menarik, baru kali ini aku dikisahkan mengenai pertemuan kedua orang tuaku.

"Nenek dengan perasaan bahagia menyetujuinya, kemudian beberapa bulan setelahnya mereka menikah. Ternyata mereka menetapkan untuk tinggal di kota. Waktu mendengar kabar itu, Nenek sedikit sedih karena tak ada lagi yang menemani di kampung, apalagi Ayah itu anak tunggal," lanjut Nenek. "Tapi sekarang, Reren yang menemani Nenek. Senang sekali rasanya." Senyumnya menghangatkanku. Mataku mulai berkaca-kaca. Kalau boleh, aku ingin sekali memeluk Nenek dengan erat. Aku benar-benar rindu Ibu.

"Reren bakal di sini terus, Nek," ujarku pelan.

Wajah Nenek berseri. "Oh, iya, berhubung tidak lama lagi memasuki bulan puasa. Nenek mau memberi tahu, di masjid akan ada buka bersama tiap hari, Reren ikut, ya."

"Wah, ada yang begitu, Nek?"

"Iya. Nenek yakin ini akan menjadi kenangan terindah untuk Reren. Coba saja ikut. Sejak Nenek kecil, tradisi buka bersama di masjid sudah ada, dan itu yang paling dinanti Nenek saat kecil," terangnya sembari terkekeh bernostalgia.

Aku mengangguk, mengacungkan jari. 'Aku tidak boleh melewatkan momen tertentu ini!' batinku semangat.

To be continued ....

***

—Senin, 25/04/22

Lapangan KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang