Catatan: Cerita ini hanya fiksi, bila ada kesamaan nama tokoh, latar, dsb., itu hanya kebetulan semata.
Tema: Terima Kasih
Hari ke-1***
Mungkin tidak ada kata 'tulus' di tiap perlakuan orang-orang kepadaku. Mereka datang memberikan harapan, dan pergi tanpa penjelasan. Semua orang begitu. Sama persis. Kecuali siswa pindahan yang sudah setahun terakhir berteman denganku, bisa dikatakan, kita ini sahabat.
Entah bagaimana caranya, anak itu bisa membuatku percaya bahwa ia merupakan seorang teman yang baik. Sampai detik ini, kita sudah menghabiskan banyak waktu hanya untuk membahas serial novel favorit kami. Rasanya, baru pertama kali aku mendapatkan teman dengan jangka waktu berteman lebih dari 6 bulan. Dulu tidak ada yang namanya sahabat bagiku, adanya hanya teman palsu.
Selain karena jabatan kedua orang tuaku yang tinggi, mereka juga memanfaatkan kekayaan orang tuaku.
Aku kesepian. Bertahun-tahun lamanya aku menunggu Papa dan Mama pulang, tetapi mereka malah membentak tiap kali aku bertanya. Katanya, aku harus lebih bersabar karena mereka bekerja juga untukku. Lantas, apa yang salah dariku? Seluruh anak di dunia pun pasti menginginkan hal itu dari orang tuanya. Kasih sayang, perhatian, family time, tidak pernah sekalipun aku merasakannya. Namun, dibanding Mama, Papa lebih baik, sesibuk apa pun pekerjaannya, ia masih menyempatkan waktu untuk menanyakan kabarku—meski responsku selalu tidak sopan.
Yah, tapi kuharap, aku tidak akan seperti Papa dan Mama suatu saat nanti.
"VEI!"
Aku terkejut, memfokuskan pandangan, menoleh ke sumber suara. "Eh, ada apa?"
"Jadi sejak tadi kamu enggak merhatiin?" tanya satu-satunya anak yang kuanggap sebagai sahabat, Serhan. Ia menilik gelagatku. "Melamunkan apa, sih, Vei?"
Aku buru-buru mengelak, menggeleng, "Maaf, cuma lagi mikirin tugas Bahasa Inggris kemarin."
"Dasar, mikirin apa lagi? Bukannya tadi kamu bilang udah tuntas?"
Duh, salah jawab!
"Eh, iya, udah kok, cuma agak bingung aja ...." Serhan menatapku, memasang wajah penuh pertanyaan. "Bingung aja ... kenapa bel masuk kelas 'gak kunjung berbunyi."
Ia menatapku lebih dalam, tak menjawab.
"Kenapa ..., Han?"
"Ini aneh. Kamu enggak biasanya begini. Kita 'kan baru keluar kelas beberapa menit lalu."
Glek! Astaga, kenapa aku sampai melupakan hal sepenting ini, pantas saja ia merasa ada yang janggal dariku.
Aku memasang wajah tak percaya, berpura-pura tidak menyadari. "Hah? Serius? Aduh, mungkin ini efek belum sarapan." Tentu saja aku sudah sarapan, tapi apalagi yang bisa kujadikan bahan untuk berdalih? Semoga saja hal itu cukup membuatnya percaya.
"Begitukah?" Aku mengangguk kaku. "Perut kosong kok makannya mie," sindirnya. Aduh, salah lagi? Anak ini susah sekali diajak akur. Tidak pernah sehari pun tanpa kalimat sindirannya.
"Baiklah, coba liat mie yang kamu pesan itu. Sebentar lagi juga mekar sebelum dimakan." Serhan menunjuk makanan yang kupesan tadi.
"YA AMPUN!" Mataku membelalak. Aku buru-buru menghabiskan mie-ku. Tampaknya melamun terlalu lama bisa membuat otakku bekerja lebih lambat.
Serhan menggeleng-gelengkan kepala, ia ikut menghabiskan pesanannya. Kemudian kami membayar pesanan masing-masing, dan kembali ke kelas.
"Han, kamu ngomongin apa pas aku melamun?" tanyaku, menumpas keheningan di perjalanan menuju kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lapangan Kehidupan
ContoHidup tidak seperti jalan tol, selalu ada tikungan tajam di tiap perjalanannya. (Antologi cerpen) Sᴛᴀʀᴛ: 8 April 2022 Fɪɴɪsʜ: 27 April 2022 * * * DILARANG KERAS PLAGIAT!!! Cover by Pinterest