2.3 | Sinestesia

351 41 108
                                    

Douha, Qatar,
1 Januari 21 AOE, 12 PM AST (+3 UTC)

TEKANAN menghunjam deras tengkuk. Messal merasakannya layaknya penduduk Aradh menyaksikan suara dan mendengar warna. Tak ada yang sanggup mendeteksinya. Namun, tidak bagi seorang Postulat.

Ia sering bercerita kepada Presiden Juhan, "Saya merasakan gravitasi layaknya tekanan yang menarik ke dasar suatu materi. Setiap massa. Ada cekungan yang membuat saya ditekan ke arah massa tersebut. Bukan karena seberapa besar ia, tapi ... seberapa kuat semesta-yang-lebih-tinggi menuntun saya pada suatu jalan."

"Bagaimana mungkin?"

"Ada energi, juga gelombang. Mereka saling menginterferensi."

"Lantas, apa hubungannya dengan semesta-yang-lebih-tinggi?"

"Mereka ... membantu kita."

***

ULURKAN genggaman kepada yang lebih rendah, Yang-Tertinggi akan bertarung bersamamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ULURKAN genggaman kepada yang lebih rendah, Yang-Tertinggi akan bertarung bersamamu.

Messal bergumam. Ia melangkah mengikuti setapak kelabu yang lebih licin daripada marmer. Mata hijaunya melirik ke depan dan sedikit menengadah. Dia terpesona.

Balai pertemuan milik Qatar amat berbeda dengan yang ia hadiri di Hawaii.

Lima tahun lalu, warna merah di setiap kursi berundak, termasuk layar lebar yang menghiasi pentas, adalah sisa kenangan yang dapat ia ingat. Amat sedih. Sang Mata Satu sudah memastikan trauma tertanam di benak setiap orang.

Qatar. Dia memilih negara kecil di tepi Teluk Arab. Kaya dan futuristik. Seharusnya, ia senang menyaksikan semua ini.

Ulurkan genggaman kepada yang lebih rendah, Yang-Tertinggi akan bertarung bersamamu.

Messal masih belum menghentikan gumaman. Tiap langkah yang ia ambil, tak mau terlepas dari keyakinan. Pemuda yang mewakili Palestina ini akan memenangkan Parade Mata Satu. Begitulah janji yang ia buat kepada sang bapak angkat.

Gedung raksasa yang menembus langit biru, berimpit mengundang mata untuk tak berkedip. "Ini surga", kata kerumunan yang tak jauh dari gedung yang dituju Messal. Meski samar-samar, suara itu jelas diproses ke dalam sistem auditori sang Postulat.

Layaknya akar yang menjulang ke angkasa—mencari tetesan air yang mustahil menjamah tanah kering dan gundukan pasir, balai pertemuan Qatar membuat mata terpana. Perak dan bening. Keduanya bercampur dalam kombinasi logam yang berselimut kaca.

"Mengapa dengan orang-orang ini?"

Messal menggelengkan kepala. Dia heran. Bukan kepada pria yang menciptakan gedung semacam pahatan kontemporer. Pemuda ber-hoodie seputih awan yang tak berlengan—kesukaannya—mengernyit setelah memandang gerombolan pria kekar di dalam ruang balai.

Bukan karena perangai yang aneh, melainkan Messal tak menyangka detail semacam ini digunakan kembali. Namun, apa boleh buat, pemuda yang tak pernah tunduk-buta kepada peraturan bodoh itu hanya mendecih, lalu berkata, "Persetan menurut atau tidak." Messal enggan melakukan perintah. Pasalnya ....

PostulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang