3.2 | Pengerat Berlian

199 33 21
                                    

DERAI AIR MATA bercucuran. Di dalam sel berlantai berlian dan berdinding logam, rasa sesal meliputi nyawa yang masih tersadar. Entah sudah berapa lama rintih kesengsaraan terlontar, kegelapan masih bertengger di atas sana.

Messal meringkuk dan memeluk lutut seraya menghantam lantai seakan ingin menghukum diri. Namun, itu percuma. Pemuda yang kulitnya berubah pucat tersebut lesu, dan sebentar lagi kesadaran akan lenyap dari kepala.

Napasnya tersengal dan sekujur tubuh yang tak berbusana menggigil. Ia masih menggenggam Dou meski diri sendiri tak tahu perbuatan apa yang bisa diusahakan. "Dou," panggil Messal bersuara tipis sampai tak mampu didengar, "Dou, bangunlah!"

Sia-sialah usaha Messal sebab pita suara tak dapat bergetar layaknya tercekik. Temperatur dingin yang menarik semua kalor yang digenerasi tubu makhluk berdarah panas kian menyerang bertubi-tubi. Tiap detik yang bergulir semakin memperburuk nasib.

Andai, ada segenggam air yang bisa diteguk atau remah roti yang berceceran, Messal akan melahap semua tak bersisa, sehingga tubuhnya tak perlu menggigil dan mengeluarkan suara parau. Namun, seraya beriringan dengan tangis yang diliputi rasa sesal, hanyalah suara decitan yang terdengar, dan Messal tak menaruh perhatian.

Hingga desiran itu seakan merangkak ke arah kuping yang sejajar dengan lantai berlian sedingin es, wajah pemuda yang banjir air mata tersebut menoleh ke arah pintu. Matanya menyipit. Ia mendapati ada benda kecil yang bergerak seraya berbaris beraturan. Namun, visi tadi tak jelas bagaikan menembus kaca yang ditutupi embun. Messal tak berdaya menggunakan kemampuan penglihatan mahadahsyat.

"Dou, apa itu?" ucap Messal bersuara parau meski tak mungkin terdengar, sekaligus membangunkan pria yang tergeletak di samping.

Suara decitan tersebut mendekat, sampai Messal yakin bunyi kecil itu amat familier di telinga. Sekujur badannya merinding ketika bulu-bulu halus dari sebaris benda kecil bersenggolan dengan kulit ari. Apalagi sensasi gelitik yang melintang di dada sebab kaki-kaki kecil yang merambat.

Messal yakin, lalu memejamkan mata pasrah. Oh, Yang-Tertinggi, mengapa tikus-tikus sudah terpanggil menyantapku?

Benarlah dugaan sang Postulat bahwa barisan kelabu yang buram adalah sederet hewan pengerat.

Rasa jijik bercampur nelangsa menusuk dada. Bukannya menyelamatkan Aradh dan meruntuhkan Axama, Messal malah membusuk di dalam jeruji. Apalagi setelah mengingat Presiden Juhan, pemuda Palestina itu tak mampu memenuhi janji kepada sang bapak angkat, termasuk Dou. Ia tak tahu tutur macam apa yang tepat menerangkan kematian istri yang dicinta.

"Dou, bangun!" panggil Messal masih bersuara serak.

Ia menyenggol pundak Dou. Namun, pria raksasa itu tetap terpejam. Messal berharap, setidaknya Dou bangun untuk menyingkirkan tikus-tikus, atau melegakan firasat yang melayang di atas jurang keputusasaan. Messal tak ingin jasad di sampingnya hanya tinggal jasad tanpa ada nyawa.

"Dou, Dou!" Messal memanggil semakin kencang meski suara kering yang terlontar. "Dou—"

Kepanikan sontak terputus. Pipi Messal tiba-tiba bersentuhan dengan benda bertekstur lembut berpori layaknya remah roti. Dia menenangkan diri sejenak. Tikus-tikus yang mengerumuninya tidak berniat menyantap daging siapa pun. Dua lelaki yang terkapar lemas itu ternyata bukan jamuan makan malam.

Messal terdiam. Pikiran mulai tenang dan tidak menghiraukan kemelut sakit yang membendung. Sesaat, air mata tak berderai dari pelupuk. Rasa sesal yang menyumpal akal sontak tercabut bersih. Sampai Messal menyadari, tikus-tikus itu sedang membantu.

Dia meraih remah roti seukuran genggaman tangan. Tak ada aroma busuk yang menguar dari sana. Benarlah dugaan Messal. Barisan hewan pengerat tersebut membawa suplai energi untuk sang Postulat. Tanpa perlu berlama-lama, Messal langsung melahapnya.

PostulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang