3.3 | Orang Beriman dari Khurasan

206 32 9
                                    

PERSIA. Itu satu-satunya tempat yang Dou ingat ketika mendengar sapaan sang pria aneh. Seperti Arab, namun bercampur Urdu daerah Pakistan. Tatapan Dou tak lepas dari sepasang mata tua yang ditimbuni kerut.

"Al-arabia aw alinglizia! (Arab atau Inggris!)" sahut Dou membentak, "nahnu la natuhadditsu al-farisia! (Kami tak bisa berbahasa Persia!)"

Sang pria aneh mengangkat alis. Dou enggan meremehkan sosok penuh keriput tersebut. Meski usia hampir menginjak seratus—atau lebih tua sedikit daripada Presiden Juhan, pria di atas ayunan itu jelas orang jenius. Ketika dibentak menggunakan Bahasa Arab, dia hanya mengedik biasa. Dia tahu perkataan Dou, atau malah dia tahu Dou tak sepintar dirinya.

"Na'am (Baiklah)." Sang pria tua mengangguk. Kacamata bulat di mata agak turun sebab goyangan. "Wa lakin qabladzalik, yarjil jalasi ula, Doyfi! (Tapi sebelumnya, duduklah terlebih dulu, Tamu-Tamuku!)"

Sang pria tua tiba-tiba beralih berbahasa Arab. Ternyata, dia bisa. Dou pun bertambah waspada, sedangkan Messal tak bisa berbuat banyak. Dia kelelahan. Dou enggan langsung menuruti pria aneh di depan.

Bagaimana tidak, dia menyeringai terus-menerus. Mulut ompong yang digantikan gigi palsu terpampang jelas. Amat mengilap, dia melapisinya dengan emas. Seorang poliglot dengan gigi emas, kacamata bundar, rambut acak-acakan seperti Albert Einstein, lalu bergelayutan di ayunan setinggi lima belas meter. Sudah cukup bukti untuk menolak tawaran pria tua itu.

"Tidak," tolak Dou menyipit, "siapa kau sampai bisa berada di dalam Axama!? Bahkan, di dasar yang entah berantah semacam kandang merak!?"

Sang pria tua mengekeh. "Tuan Jasim, Anda pikir, siapa yang mengirimkan tikus-tikus jenius kepada kalian?"

Messal dan Dou membelalak. Mereka saling menatap, dan enggan menolak bahwa pria tua aneh tersebut tidak sepenuhnya gila. Atau setidaknya, dia bukan termasuk ke dalam komplotan Anasazi dan Sang Mata Satu.

"Sudah kubilang, Tuan Jasim." Sang pria tua menghentikan ayunan, "duduklah, lalu aku akan memanggil tikus-tikus untuk Anda! Dan jika Anda menolak, apakah Anda tidak kasihan kepada Tuan Bahije!? Lihatlah, badannya sepucat mayat!"

Dou melirik pemuda yang digendong. Dia menggeleng sendiri, seakan perumpamaan yang dilontarkan pria tua itu benar. Messal seperti mayat. Denyut nadi amat lemah, bahkan sedikit panas yang menguar.

"Aku akan percaya kepadamu ... untuk Messal." Dou duduk bersila, lalu merebahkan Messal di pangkuan. Dia berganti melirik pria tua di atas. "Kau berutang penjelasan kepadaku!"

Sang pria tua mengekeh sekali lagi. Tepat ketika eh terakhir, tikus-tikus mengerumuni Dou. Sekumpulan roti, daging panggang, bahkan susu berduyun-duyun tersaji. Seperti mencuri dari toko, sekumpulan pengerat tersebut menjamu Messal dan Dou cukup untuk seharian.

"Sekarang, makanlah, Tuan Jasim, Tuan Bahije," ucap sang pria tua mempersilakan.

Messal mengangguk lemah, lalu melahap makanan yang membangkitkan saliva. Pemuda kurus itu langsung menenggak segentong susu. Hambar, namun tidak basi. Messal terus meneguk sampai jakun naik-turun begitu cepat. Daging panggang menjadi sasaran berikutnya, lalu kurma, kemudian roti gandum. Dia akan memakan semua, dan melupakan sejenak pria mencurigakan di depan.

Namun, Dou tetap bergeming. Meski liur membasahi rongga mulut, ia memejamkan mata dan memalingkan wajah. Ia enggan memakan makanan, hingga Messal menarik lengan.

"Dou, tidak apa. Tidak ada racun di dalamnya," ungkapnya, "aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama dengan memandang tinggi diriku."

Dan perkataan terakhir Messal menggetarkan hati Dou. Dia teringat sebab mereka terisak sepuluh menit lalu. Kematian sebab kepercayaan diri yang membuncah. Bahkan, mereka hampir tak sanggup menyelamatkan diri. Musuh begitu kuat, dan apa guna waspada kepada sosok yang mendeklarasikan perlawanan—meski tak tahu dia adalah teman, atau bukan.

PostulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang