4.1 | Perang Salib

187 26 5
                                    

SIAPA Tuhan yang sebenarnya!?

Air laut menerjang Aradh. Teriakan bersahutan dari manusia yang tersisa. Sang Mata Satu enggan peduli, bahkan terus tertawa lantang. Tak pernah ada rasa senang yang merambat di ubun-ubun seperti sekarang!

Seharusnya, detik ini, Aradh mencapai pukul tujuh malam, namun sinar mentari kembali terbit, dan menampakkan langit biru-jingga seperti pukul tujuh pagi. Penenggelaman Aradh yang terhitung dua belas jam, memendek menjadi dua belas detik.

Messal menangis meski tak mampu. Baju gamis yang ia kenakan berkibar terkoyak. Di dalam hati, ia terus berkomat-kamit meminta tobat. Tak lupa, pertolongan kepada Yang-Tertinggi terus diucap. Jika hari ini benar-benar akhir, kami berserah kepada Engkau.

Guncangan masih bisa terasa. Meski hampir semua indra dicabut, setiap debum mampu menggetarkan otak. Dengan getaran semasif sekarang, berapa nyawa dan kerusakan yang harus ditanggung Aradh. Messal tak habis pikir. Lagi-lagi dia gagal.

Andai, aku bisa berbuat seperti Bapak Mesaye, aku tidak mungkin terjebak dalam kelemahan! kutuk Messal dalam tunduk hampa. Aku tak bisa membaca isi hati. Aku tak bisa mencampuri hal gaib. Bahkan aku tak bisa menghidupkan orang mati. Kenapalah aku senaif ini!?

Aku hanya mempercayai hukum alam yang berlaku. Makhluk tak mungkin mengetahui isi hati, perkara gaib, bahkan mengembalikan yang mati. Namun, mengapa Mata Satu keparat ini bisa! Bahkan Pak Bingbing bisa membaca pikiran. Valdu dapat mencampuri hal gaib, sedangkan aku tak bisa melakukan semua!

Oh, Yang-Tertinggi, ampuni hamba! Maafkan hamba yang tidak bisa menuntaskan tugas sebagai Postulat—

Kepala Messal tiba-tiba berdenyut. Tekanan ajaib yang mendera selama Parade Mata Satu kembali terasa. Sampai pemuda Postulat itu memutus pemikiran, bahkan mengabaikan orasi congkak Sang Mata Satu.

Semesta yang lebih tinggi sedang membantu.

Messal termenung. Tekanan bertubi-tubi mendera otak. Ada sesuatu di sana yang bisa menyelamatkan semua. Messal mungkin tidak bisa membaca pikiran, tapi ada orang lain yang bisa. Messal mungkin tidak bisa mencampuri hal gaib, tapi ada orang lain yang bisa. Begitu pula membangkitkan orang mati, ada makhluk lain yang diizinkan Yang-Tertinggi.

Karena itu, Messal enggan berhenti berdoa. Ia akan terus meminta pertolongan, sebab ada sesuatu yang bisa mendengarnya. Ada sesuatu yang sedang melihatnya meski gaib. Bahkan ada sesosok yang amat kuat, hingga bisa menghidupkan semua.

Yang-Tertinggi, hamba memohon bantuan-Mu! Yang-Tertinggi, hamba memohon bantuan-Mu! Yang-Tertinggi ..., HAMBA MEMOHON BANTUANMU—

"Messal!"

Sang Mata Satu tiba-tiba berbalik, lalu memanggil pemuda di belakang seraya mengguncang. Meski tak terdengar, Messal memutus munajat, lalu menduga hal buruk akan datang sebentar lagi. Hingga ia ditarik ke depan, angin di ujung Axama mengelus kulit pucat.

Dalam sekali sentak, segumpal lidah terbentuk kembali di mulut. Pukulan Sang Mata Satu di punggung menumbuhkan organ yang hilang. Messal setidaknya mampu bernapas lega, namun enggan. Ada hal tak beres sebentar lagi.

"Sang Postulat!" panggil Sang Mata Satu angkuh, "berikan kata-kata terakhir sebelum penduduk Aradh tenggelam. Setidaknya, sebelum kematianmu. Buktikanlah kepada mereka bahwa bapakmu tidaklah berguna."

Messal mengernyitkan dahi. Amarah membuncah di dalam dada. Namun, tangisan lebih ingin dikeluarkan. Tak ada guna marah. Lebih penting, ia harus menuntaskan tugas sebagai Postulat, agar ketika menghadap Yang-Tertinggi, ada pembelaan tanpa ditimbuni penyesalan.

"THERE IS NO GOD ..., (TIDAK ADA TUHAN ...,)" ucap Messal serak.

Sang Mata Satu menyeringai bangga. Akhirnya, seorang Postulat mengakui keagungan sang pemilik Axama.

PostulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang