2.8 | Parade Mata Satu: The Right One

253 33 7
                                    

DI MANA DOU!?

Tak ada siapa pun di sekitar Messal. Padahal, sebelum memasuki pilar kristal, tangannya masih menggenggam dan sensasi hangat saling menghubung. Sendirian. Rencana Messal hancur dalam sekejap.

Akhirnya, Messal berdiri di sini.

Axama. Sama seperti lima tahun lalu. Ketika ia menonton tanpa tahu bagaimana lusinan pistol mencuat dari dinding dan mengapa 195 peserta malah saling adu jotos, ia menghafal setiap seluk beluk istana berlian yang ditampilkan di layar pentas.

Putih benIng dan rona violet yang berpendar di antaranya. Sang Mata Satu sangat menyukainya. Seisi kota disulap dari gedung-gedung tinggi menjadi koloseum. Lapangan luas yang dibatasi oleh dinding setinggi seratus meter. Di atasnya, tribune saling berundak untuk tempat para hamba Sang Mata Satu menikmati hiburan.

Suara riuh memecah perhatian Messal. Pria berjas rapi dan wanita bergaun putih-violet duduk angkuh sembari mendentingkan gelas berisi anggur emas. Aroma roti dan wewangian yang mengelus rongga hidung sampai tercium ke tengah arena. Namun, bau anyir darah dari bawah Axama tak kalah menyengat daripada segala campuran penciuman.

Benar saja, 185 kepala gugur dalam tiga rintangan yang tiba-tiba diturunkan untuk Parade Mata Satu. Labirin sarang semut yang diairi, penukar panas yang dijaga Simci, dan gelinding batu 'tuk sampai ke puncak. Sang Mata Satu benar-benar ingin membantai penduduk Aradh—

Suara dentingan tiba-tiba menusuk tipis dari ujung arena. Ada seseorang yang mengenakan jubah putih yang amat tinggi menjulang. Ia berdiri seraya mengangkat sebuah gelas berlian. Entah siapa ia, seluruh riuh yang digemakan oleh penduduk Axama seketika menghilang. Setelah itu, semua orang di tribune bersujud ke arahnya.

Itu adalah Sang Mata Satu.

Messal membelalak. Perhatiannya spontan terfokus ke ujung arena, hingga ia mendapati sesuatu yang familier.

Sang Mata Satu tak mengubah arena.

Bentuknya masih sama layaknya inti eosinofil—yang terdiri dari dua arena raksasa dengan sebuah jalur kecil sebagai penghubung. Di ujung tengah, tepat di belokan jalur penghubung, Sang Mata Satu bersemayam di atas singgasana yang sandarannya sanggup menyinggung awan.

Bisa jadi, beberapa permainan masih sama seperti lima tahun lalu. Ranjau, pistol, dinding penjepit, arena oven, dan ... hujan rudal, semua masih bisa terulang. Karena itu, masih ada kesempatan untuk mengakali seisi Parade.

Dou, ia tentu berada di lapangan yang lain. Arena kiri. Dan aku berada di arena kanan, bersama orang-orang bertubuh lemah persis seperti lima tahun lalu.

Messal pun menelisik empat orang yang tersebar acak di depan. Karena ia merupakan peserta terkecil yang mengikuti Parade, mungkin, ia diletakkan di bagian terbelakang arena—jauh dari jalur penghubung.

Tak jauh di depan, Messal mendapati sosok pria plontos berdiri sembari menengadahkan pandangan ke arah Sang Mata Satu. Dia Minato. Si pria biksu adalah peserta terdekat yang ada di sekitar Messal.

Messal pun berganti menatap peserta lain. Ia beralih kepada dua orang di depan Minato. Tak kenal. Messal tak tahu siapa yang ada di depannya. Setidaknya, aku tidak mau berurusan dengan mereka, termasuk membunuhnya.

Namun, di ujung lapangan, tepat beberapa meter dari mulut jalan penghubung, Messal mendapati sosok pria berkulit sawo matang yang sedang menolehkan kepala—sedang berusaha mengidentifikasi keadaan. Itu Arif!

Wajah Messal berbinar. Ia spontan tersenyum karena rentetan rencana tiba-tiba memberondong isi kepala. Kalau begitu, di arena kiri ada Dou, Bingbing, Furaz Zarkovafic, dan ... berandal Amerika Serikat itu, Samshon Goldson. Tak akan ada masalah besar di sana, Sang Mata Satu menyukai peserta berbadan tangguh. Namun, masalahnya ada di Samshon. Aku harap, Dou bisa menanganinya.

PostulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang