0.1 | Sang Mata Satu

752 79 105
                                    

"Sudah waktunya ..., ya?"

Dia membuka sebelah mata. Bibirnya menyeringai. Setelah sekian lama, kebebasan akhirnya menjadi milik pria itu. Malam ini ....

Sang Mata Satu akan keluar.

***

Khurasan, Iran

Selepas magrib, lampu-lampu oranye masih menerangi jalan. Kubah emas masjid memantulkan sinar rembulan beserta sorot oranye temaram di bawah langit malam. Begitu pula dengan gereja dan sinagog, ukiran emas dan jendela mozaik tetap menembuskan cahaya yang membias biru, merah, dan hijau. Wilayah itu, masih seperti biasa: orang-orang berlalu lalang 'tuk pulang ke rumah, atau bermunajat kepada Tuhan. Mereka ingin melepaskan penat dunia, sampai terlupa. Orang-orang Khurasan, tak tahu apa yang akan mendatangi mereka.

Seorang pria tiba-tiba menggoyangkan lonceng gereja. Dentingan yang digemakan oleh pukulan logam membuat setiap orang mendongak, ada apa di atas sana? Para penduduk terperangah. Mereka baru menyadari, lonceng gereja bergetar di atas kubah masjid.

"Siapa orang itu?"
"Turunkan dia!"
"Hei, turun kau, Orang Gila!"

Riuh protes bersahutan dari trotoar. Masjid berkubah emas yang baru saja ditinggalkan oleh orang-orang setelah salat, kembali dibanjiri oleh jemaah. Mereka menunjuk-nunjuk seorang lelaki yang berdiri di atas puncak menara. Dia berdiri tegap dengan kaki menumpu di bagian depan. Bibirnya menyeringai, seakan menertawai orang-orang yang ada di bawah.

Batu-batu mulai dilemparkan kepada lelaki itu. Para jemaah semakin menjadi-jadi. Tak ada ketakutan di wajah mereka. Sayang, kegelapan menutupi wajah pria yang mereka cecar sedari tadi. Kalau kubah masjid memiliki sorot lampu, penduduk Khurasan akan menyadari siapa sosok yang ada di atas mereka. Karena jengah, pria yang mendentangkan lonceng gereja di atas kubah masjid, pun turun. Ia melompat dengan kaki sebagai tumpuan—tidak takut patah.

Suara seretan pasir mulai menggeret telinga-telinga penduduk Khurasan kepada pria yang mulai mendekat. Tubuh pendek—di bawah standar orang Iran—mulai tersinari oleh lampu oranye. Kumpulan mata yang menyipit, bergantian membeliak. Fitur tubuh dari pria yang sedari tadi mereka teriaki mulai tergambar. Penduduk Khurasan mengenalnya. Pria itu ... adalah Sang Mata Satu.

"Malam ...." Sang Mata Satu menjejakkan kakinya, lalu tanah berguncang sampai merobohkan rumah-rumah. Aspal kelabu yang mengokohkan jalan, bergemeretak sampai melahirkan deretan lubang menganga. Bunyi alarm mobil sontak bersahutan sebab tersenggol bemper dan buritan. Lampu-lampu jalan yang menyorotkan cahaya oranye, berlomba 'tuk berkedip, sampai akhirnya padam. Setiap orang spontan berjongkok dan menutup kuping. Teriakan minta tolong menggema, termasuk tangisan anak-anak dan wanita. Apakah, ini adalah akhir?

Gelap, tak ada pemandangan yang bisa ditangkap oleh mata. Cahaya rembulan entah kenapa tidak bersinar malam ini, begitu pula bintang-bintang. Mendung yang berlapis-lapis tiba-tiba bergulungan menutupi langit Khurasan. Hanya jeritan dan rintihan yang menemani setiap orang dalam tundukannya. Mulut mereka berkomat-kamit memohon pertolongan Tuhan, sedangkan tangan mereka sibuk merangkul putra-putri yang menangis di dalam dekapan.

Napas yang terengah menjadi satu-satunya hal yang bisa penduduk Khurasan keluarkan, begitu pula keringat yang meluncur. Tak ada seorang pun yang bisa mengambil langkah untuk menolong, apalagi melawan pria yang melakukan ini semua. Mereka tak bodoh dengan tidak mengenali pria itu. Dia adalah Sang Mata Satu.

"Hahaha!" Suara bahakan menggema di tengah tangis dan erangan di Khurasan yang hitam. Sebuah cahaya oranye mencuat, dan itu muncul dari tangan Sang Mata Satu. Semua ujung mata menuju kobaran yang hangat itu. Dia, bagaimana bisa? Sang Mata Satu memunculkan api dari telapak tangan. "Kalian harus tahu apa yang aku pegang sekarang!"

PostulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang