4.3 | Aradh

186 30 6
                                    

VALDU bersiap membuka penutup mata.

Ketika mendengar tangisan Messal yang memecah seluruh penjuru angkasa, bocah India itu geram. Musuh yang menghadang di depan tertawa keras. Ia puas. Satu Postulat tumbang, dan tak lama lagi Aradh akan musnah, lalu tersapu ombak seperti tak pernah ada kehidupan.

"Tidak," balas Valdu mencengkeram ikatan bebat hitam.

Bunas si muka gagak berhenti tertawa. Dia tak mengerti maksud perkataan Valdu. Bukankah sudah jelas tidak ada harapan. Tanah di bawah sudah mulai tenggelam. Bahkan, tebing batu yang dijadikan pijakan, bertahap termakan gerusan laut yang bergulung-gulung.

"Sesungguhnya, mereka yang mati melawan Sang Mata Satu tak pernah menerima kekalahan," sambung Valdu tegar. "Mereka menang untuk Yang-Tertinggi, dan sedang bersenang-senang sebab hadiah iman mereka."

Bunas terdiam di angkasa. Dia tidak bersimpati, tetapi mengecap mulut muak. Keheningan menyelimuti dua Postulat yang saling berhadapan itu, sementara air laut mulai meninggi, dan tebing batu yang dipijak Valdu hampir tenggelam, tinggal tiga meter.

"Lebih baik kau pedulikan saja nasib keselamatanmu!" ejek Bunas menunjuk permukaan air laut. "Kau bisa tenggelam sebentar lagi. Bahkan, buat apa kau menutup matamu, sampai tidak mungkin bisa melihat!? Apakah kau malu memiliki mata besar? Mata picek? Atau bahkan tak punya mata!? HAHAHA! Kau tak berbeda sepertiku! Kau tak menerima takdir, dan Sang Mata Satu menyelamatkanmu, kan? Kau senang? Tapi kenapa malah kau menjadi pengkhianat!?"

"Berisik," balas Valdu datar. Dia berhasil merendahkan Bunas yang terbang angkuh.

Bunas murka. Seekor gagak mulai beterbangan dari sayap hitam lebar yang mencuat di punggung. Satu per satu burung kelam itu mengelilingi Valdu, lalu menggores pipi dan kulit coklat bocah India itu.

"Lancang sekali kau mengejekku, hamba pertama sekaligus tangan kanan Sang Mata Satu!" bentak Bunas menghentikan amukan gagak.

Goresan darah di sekujur tubuh dan muka bermunculan. Valdu meringis kecil, namun tetap bergeming. Kedua tangan masih menggenggam ikat bebat mata. Ia tak menyesal mengucapkan kebenaran tentang Sang Mata Satu, termasuk alasan dia berkhianat.

"Aku bisa melihat meskipun dibebat penutup mata," ucap Valdu menatap Bunas, "dan kekuatanku bukan sepenuhnya berasal dari Sang Mata Satu. Aku menguatkannya berkat ilmu dan kebenaran. Tidak perlu khawatir kepadaku, malah kau yang harus mengkhawatirkan dirimu—"

"Enak saja kau bisa mengatakan hal sebodoh itu!" balas Bunas tak terima. "Tak tahu terima kasih! Bagaimanapun juga, kau berutang kepada Tuhan Axama—"

"No! (Tidak!)" balas Valdu menggeleng, "aku bahkan tidak pernah meminta diselamatkan, bahkan kekuatan yang diberikan oleh pria picek sebelah itu tidak sempurna, dan aku pun menutupinya dengan kain bebat hitam. Aku enggan berbuat serakah karena malah mengundang kecelakaan.

"Dan sekali lagi kutekankan," sambung Valdu, "aku tidak pernah protes dengan kedua mataku. Mereka berfungsi baik, malah amat indah. Aku menyukainya. Aku tidak pernah protes dengan bentuk tubuhku. Bahkan, jika aku terlahir berkulit gelap dan berambut ikal, aku tidak pernah meminta untuk berkulit putih dan berambut lurus.

"Dunia sudah amat memuakkan! Bodoh sekali aku masih pusing-pusing memikirkan fisikku!?" bantah Valdu tegas. Meski dia masih berusia lima belas tahun, setiap kata yang terlontar amat tajam dan diucapkan tanpa ragu. Dia benar-benar mendapat ilmu dari pak tua Tacoma. "Termasuk jika aku diciptakan memiliki hidung gagak. AKU AKAN MENYUKAINYA! DAN MASA BODOH DENGAN SEMUA ORANG YANG MENERTAWAKANKU!!!"

Bunas muak, sampai wajah bertopeng gagak bergemeretak. Andai dia tak mengenakan penutup muka, ekspresi bersungut-sungut akan tampak. Bahkan, tanpa perlu meladeni ocehan Valdu, dia memecah diri menjadi ribuan gagak. Sebab Valdu telah menyinggung topik yang enggan untuk dibahas, sang Anasazi gagak tersebut murka.

PostulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang