2.6 | Energi

77 16 0
                                    

ANDAI sinar mentari menyeruak, deretan pipa-pipa besi sebesar pilar kristal akan mendongakkan setiap tatapan. Sensasi lembap mengelus epidermis. Sementara bau lumut, menusuk pori-pori hidung sampai memaksa ingus meleber.

Tetesan air mengetuk gendang telinga. Seirama dengan guyuran air yang menggesek pipa besar, tak ada yang tahu ke mana perginya aliran itu. Masih ada yang diisi. Seisi aula pertemuan di lantai pertama yang sudah penuh, bukanlah tujuan utama aliran air asin.

Suara gemercik menghantui tiap langkah tiga lelaki yang berjalan tanpa sebuah penerangan. Sekali-kali mereka menoleh. Berjaga-jaga. Siapa tahu ada tembakan atau laser yang akan mencincang tubuh sampai habis.

"Ke mana aliran air ini mengarah?" tanya Dou menoleh waspada. "Suara mereka mengganggu sekali!"

Jauh melintang horizontal terhadap ruangan ini, balas Bingbing menggerakkan isyarat tangan.

Dou mengernyitkan alis. Ia tak tahu maksud pria Tiongkok itu. "Messal, apa yang ingin dikatakan oleh Bingbing?"

"Aku ... tak tahu," jawab Messal ragu. Dia gelisah tanpa suatu alasan. Rasa waspada Dou tiba-tiba menular kepadanya. "Jauh melintang horizontal terhadap ruangan ini. Mungkin? Semakin kita berjalan ke dalam ruangan, aku tak bisa melihat apa pun. Gelap. Selain itu, panas. Entah kenapa, suhu tempat ini seakan memanas tiba-tiba."

Dou mengelap leher. Benar saja, buliran keringat sudah membanjiri tengkuk dan punggung. Temperatur di ruangan semakin meningkat, tapi anehnya, tak ada pemanas pun yang diaktifkan di seluruh penjuru aula. "Kau benar, Messal. Karena itu, berhati-hatilah—"

Sebuah ledakan menggelegar dari salah satu sisi ruangan. Getaran juga sempat menyusul.

"Apa itu?" tanya Messal membelalakkan mata. Horor. Parade masih berlanjut.

"Entah, tapi itu tak jauh dari sini," balas Dou melongok sumber suara. "Tapi tak apa. Kita aman di sini—"

"Ehm, Dou," sahut Messal meluruskan kepala Dou ke depan, "jangan terlalu cepat berbicara."

Di hadapan Messal dan Dou, sepasang mata putih menyala di tengah kegelapan. Bunyi dengus napas beradu. Bau menusuk dari binatang yang asing bagi orang timur tengah mulai menguar.

Si Kepala Banteng. Dia menyambut dengan tatapan garang.

Messal membelalak ngeri. Hanya dia yang bisa menyaksikan wujud asli dari si Kepala Banteng. Cokelat tua. Berambut kasar. Cincin hidung emas. Juga tanduk hitam sebesar sangkakala. Di lehernya, ada kalung bertuliskan dengan Simci Aladin—itu namanya.

"Selamat datang di Parade Mata Satu!"

Simci mengerang dengan suara berat yang mampu mengalahkan trombon. Kepalanya mengarah ke depan. Si Kepala Banteng itu siap menyeruduk.

"Dou, Bingbing, menyingkir! Dia akan menyerang!" seru Messal menarik kedua pria yang ada di samping ke arah lain—sebab hanya dia yang bisa melihat di dalam kegelapan.

Erangan banteng matador mendobrak gendang telinga. Monster itu tak sempat memberikan kesempatan untuk berlari menjauh.

Messal memejamkan mata. Dia berpikir, Tak ada jalan lain, kecuali dengan cara Postulat. Pemuda yang sedang menarik dua pria di genggaman buru-buru berteriak, "Kalian menjauhlah dari sini! Biar aku yang—"

Ledakan meletup dari dinding logam yang ada di samping Simci. Cahaya matahari pun tiba-tiba menyeruak dari lubang menganga yang berdiameter raksasa.

"Hey, you there! (Hei, kalian yang di sana!)"

Suara seorang pria sehangat perapian memanggil amat kencang dari lubang tersebut.

"Jadi, semua ledakan yang kita dengar disebabkan oleh pria itu?" tanya Dou menggelengkan kepala.

PostulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang