1.3 | Parade Mata Satu

347 50 71
                                    

Pearl Harbor - Hawaii1 Januari 16 AOE

DESIR PASIR YANG TERSERET OMBAK mengembuskan suara tropis ke telinga. Biru. Lautan jernih dengan gemelantung awan putih menyambut setiap pasang mata. Aroma garam yang bersarang di tiap kubik air asin mengelus hidung setiap makhluk.

Indah. Namun, tak ada yang menyangka bahwa tempat itu dulunya adalah medan tempur. Ledakan dan bumbungan asap mengepul di setiap sudut. Aroma mesiu menggesek epidermis hidung para tentara. Darah segar memuncrat bersamaan dengan setiap prajurit yang berkorban. Berani, para tentara yang gugur waktu itu akan serupa.

Begitulah nasib 195 perwakilan negara yang akan menghibur Sang Mata Satu di Axama.

"Sudah waktunya, Tuan," ucap seorang pria keturunan timur tengah yang berjanggut tebal—sampai menutupi seluruh mulut. Ia membungkuk kepada Presiden Juhan, lalu mencium tangannya sebagai tanda hormat. "Saya pamit dulu. Tuan Presiden, Messal, doakan saya."

Pria kekar itu tersenyum. Ia menutupi kesedihannya. Meski pria ini tahu peluangnya untuk bertahan hidup sangat kecil, dia tetap memasang senyum, dan selalu menggantung harapan.

"Tentu, aku akan selalu mendoakanmu, Nak," balas Presiden Juhan mengelus kepala perwakilan negaranya.

Messal hanya sanggup tersenyum. Dia tak sanggup berkata apa-apa. Pemuda yang diangkat anak sebagai Presiden Juhan ini takut, jika dia nekat berbicara, semua kata-kata jujur yang pedih, malah menciutkan hati pria yang mewakili Palestina di depannya.

Tak perlu menunggu lama, pria kekar itu meninggalkan Messal dan Presiden Juhan di tengah Pearl Harbor bersama 194 pemimpin negara lainnya. Tepat beberapa ratus meter dari bibir pantai yang ditumbuhi pohon nyiur, semua pemimpin negara—dan pengawalnya—harus kembali menepi; meninggalkan monumen persegi panjang yang memantulkan sinar putih, hanya boleh diisi oleh para pemain parade.

 Tepat beberapa ratus meter dari bibir pantai yang ditumbuhi pohon nyiur, semua pemimpin negara—dan pengawalnya—harus kembali menepi; meninggalkan monumen persegi panjang yang memantulkan sinar putih, hanya boleh diisi oleh para pemain parade

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pilar langsing berwarna putih pucat yang menopang atap bolong layaknya jaring, perlahan menjauhi pandangan Messal. Monumen seluas tiga lapangan bulutangkis itu menganga seakan menunjukkan kehampaan. Akhir tak berujung, lorong tadi adalah perpisahan bagi orang-orang yang tetap tinggal, dan Messal tahu.

"Pak Juhan, apakah dunia masih akan bertahan setelah ini?" gumam Messal tiba-tiba. Ia menggenggam tangan Presiden Juhan, lalu mendongak 'tuk menatap mata bapak angkatnya.

Presiden Juhan termangu. Ia heran, Mengapa Messal tiba-tiba bertanya hal semacam ini. Apakah karena perpisahan dengan perwakilan Palestina tadi? Presiden Juhan pun tersenyum, lalu berkata secara lembut, "Tidak, tidak perlu takut, Nak Messal. Mereka sudah ikhlas, apa pun hasilnya—"

Presiden Juhan memotong perkataannya. Sebuah istana berlian raksasa seukuran Negeri Vatikan tiba-tiba melayang ke atas Pearl Harbor. Bayangan remang yang meneruskan rona violet, sontak memayungi seluruh O'ahu.

Horor, semua orang sontak menengadahkan muka. Mereka kini sedang menyaksikan kengerian yang sebenarnya.

Ini 'lah yang menyebabkan Messal bertanya tadi, batin Presiden Juhan menelan ludah keras-keras. Pria tua itu sontak merangkul Messal, lalu mendekatkan tubuh pendeknya ke rangkulan. Dia berkata, "Nak Messal, Bapak tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi ... mari kita sama-sama berdoa kepada Yang-Tertinggi agar para peserta yang gagah berani berkorban, senantiasa di dalam lindungan."

PostulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang