1:04

13 2 0
                                        

Masa lalu yang aku coba singkirkan kini mulai memperlihatkan diri seakan tidak terima tersingkirkan begitu saja...

-Puzzle-

Seharusnya malam ini Shaira disibukkan dengan tumpukan tugas mingguan yang sudah mengintip dari ujung deadline. Tapi semua itu dengan ringan dia abaikan. Malam ini, dunianya hanya dipenuhi satu hal atau lebih tepatnya, satu nama. Zaidan.

Shaira tengah tenggelam dalam sesi video call dengan teman-teman SMA-nya yang kini tersebar di berbagai kota. Mereka jarang-jarang bisa terhubung seperti ini, apalagi di tengah kesibukan masing-masing. "Moment indah itu nggak datang dua kali," begitu kata Shaira sambil tersenyum penuh makna ke arah layar. Malam ini, baginya benar-benar terasa indah. Spesial. Karena di antara wajah-wajah yang muncul di layar, ada Zaidan di sana.

Zaidan, nama yang terlalu familiar, terlalu dekat, terlalu rumit untuk dijelaskan dalam satu kalimat. Shaira mengenalnya, bukan hanya sebagai teman, tapi sebagai seseorang yang pernah mengisi ruang-ruang paling personal dalam pikirannya. Ia sangat mengerti Zaidan. Lelaki itu bukan tipe yang mudah diajak ngobrol, apalagi sekadar menyapa lewat chat. Kadang membalas pesan saja bisa butuh waktu sehari, dua hari atau bahkan tidak sama sekali.

Dan malam ini, Shaira dibuat terkejut, jantungnya seketika melompat seperti habis loncat dari kasur ketika melihat satu nama yang tidak dia sangka akan muncul di layar video call.

Zaidan Pradipta.

Shaira sempat terpaku beberapa detik. Jarinya yang semula sibuk memainkan ujung hoodie-nya kini berhenti, bahkan napasnya seperti sempat lupa keluar. Zaidan, manusia menyebalkan sekaligus cinta pertamanya semasa SMA atau mungkin sampai sekarang pun, rasa itu belum benar-benar hilang.

Rasanya seperti jungkir balik dalam hati. Mau nangis terharu, tapi ya masa iya, nangis cuma gara-gara video call?

Gengsi, Sha. Gengsi.

"Lo di sana sendiri Sha?"

Suara itu tenang, agak dalam, dan khas. Shaira langsung menoleh, dan benar saja, Zaidan sedang menatap layar dengan pandangan santai. Tanyakan pada langit, bagaimana bisa suara seseorang membuat seluruh dunia Shaira jadi hening seketika?

"Lo nanya gue?" tanya Shaira dengan ragu. Suaranya sedikit bergetar, tapi berusaha ditutup dengan senyuman tipis.

"Kobam lu, Sha? Sadar bego, bengong mulu!" suara lain langsung menyeletuk, Haikal. Manusia lawak dan tukang ngegas, sahabat lama yang sepertinya dilahirkan hanya untuk mengacak-acak ketenangan hidup orang lain.

"Diem lo Amat!" balas Shaira sambil menatap layar dengan mata menyipit ke arah Haikal, lelaki bernama lengkap Muhammad Haikal Pratama, manusia satu itu memang hobi membuat suasana gaduh. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti paket lengkap seperti kumpulan lelucon, sindiran, dan bom atom.

"Nama gue cakep-cakep Haikal, kenapa manggilnya Amat, si ibab!!" omel Haikal, mengangkat alis tinggi-tinggi seperti sedang menyampaikan protes nasional.

"Nyenyenye!" Shaira mencibir, puas melihat ekspresi Haikal yang sebal sendiri. Lalu ia menoleh sedikit ke arah Zaidan, "Iya, Dan. Gue sendirian."

Zaidan diam sejenak sebelum menanggapi, wajahnya masih terlihat datar, tapi nada suaranya sedikit lebih lembut, "Tengah malam gini, ngapain sih pada VC? Ganggu orang tidur aja, lo pada."

"Kalau ganggu mah nggak usah diangkat, bre," sambung Haikal dengan nada sok bijak tapi jelas mengundang perdebatan.

"Haikal tuh idenya. Tiba-tiba ngajak VC tanpa aba-aba. Nggak jelas banget, ya kan, Kiel?" sahut Shaira sambil melirik Azkiel yang sedari tadi cuma jadi penonton pasif, memperhatikan teman-temannya yang ributnya nggak ada habisnya, terutama Shaira dan Haikal, ditambah satu lagi, Zaidan, si tukang komentar dari tadi.

Puzzle Piece (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang