Meskipun satu persatu dirasa sudah rampung, entah mengapa aku selalu merasa puzzle yang disusun ini tidak pernah sempurna.
-Puzzle-
Setelah hampir setengah semester Shaira habiskan masa kuliah dengan sistem jarak jauh atau daring yang terpaksa dilakukan atas permintaan kedua orang tuanya. Kini Shaira kembali lagi menginjakan kaki di rumah keduanya.
Betapa rindunya Shaira pada kota ini. Kota yang mengenalkannya pada warna kehidupan. Shaira berjalan membuka gerbang kos yang sudah lama dia tinggal itu. Ternyata Kay tidak cukup tega mengangkut semua barang Shaira saat itu. Buktinya sekarang kamar kos Shaira masih menjadi miliknya dan barang-barang di kamarnya masih tersusun rapi.
Rasa kembali ini, seperti merasakan ketenangan yang luar biasa. Ketenangan yang sebelumnya belum pernah Shaira rasakan. Ketenangan dan kelegaan karena sudah melepaskan apa yang seharusnya dilepaskan. Menerima apa yang seharusnya diterima, dan mensyukuri apa yang seharusnya disyukuri.
Sebelum berangkat untuk melanjutkan kuliahnya. Kali ini Shaira meminta izin kepada kedua orang tuanya dengan baik. Meminta restu akan dirinya yang akan menuntut ilmu demi masa depan yang lebih baik. Masa depan yang Shaira pilih sendiri, bukan tanpa paksaan.
"Ma, Sha berangkat ya?" pamit Shaira kepada Kay yang menatap sedih putri yang selalu menjadi kecil di matanya itu.
Kay membawa Shaira ke dalam pelukannya. Peluk yang selama ini jarang Shaira dapatkan. Peluk dengan penuh cinta tanpa ingin melepaskan. Peluk hangat seorang Ibu kepada anaknya.
"Maafkan Mama ya Sha. Selama ini belum bisa mengerti Sha sepenuhnya. Mama sayang Sha, maaf jika cara mama salah," ucap Kay dalam bisiknya yang tanpa sadar membuat Shaira harus menghapus sudut matanya.
"Maafin Sha juga ya Ma, selalu salahin Mama atas keinginan Sha yang belum tentu benar. Makasih Ma udah dukung apa mau Sha, makasih nggak paksa Sha. Mama yang terbaik," balas Shaira diakhiri dengan mencium pipi sang Mama.
Kay menangkup wajah kecil Shaira dan menciumnya berulang kali. Selama ini dia kemana? Tidak menyadari jika putri kecilnya kini sudah besar. Sudah tidak manja lagi. Sudah berani mengambil keputusan sendiri.
Sebagai seorang Ibu, yang belum pernah Shaira rasakan. Berulang kali, sejak Shaira menyuarakan isi hatinya. Batin Kay berontak saling menyalahkan diri. Melemparkan kesalahan seharusnya yang sudah terlambat.
Selama ini Kay selalu ingin memberikan yang terbaik untuk Shaira. Sebagai seorang ibu hal itu sangat wajar. Tapi Kay lupa, Shaira adalah seorang anak dengan keinginan bebas yang tinggi. Shaira juga ingin mendapatkan kasih sayang yang cukup. Namun hal itu justru tidak Shaira dapatkan. Yang menjadi fokus Kay adalah bagaimana Shaira harus bisa menjadi sukses seperti dirinya dan suaminya. Yang pada akhirnya hal itu membuat Shaira merasa stress dan tertekan.
Kesibukannya membuat dia lupa jika Shaira juga membutuhkan kasih sayang.
"Papa..." panggil Shaira seraya membawa diri memeluk Aryo tanpa canggung.
"Makasih ya Pa," ucap Shaira dalam pelukan Aryo.
Aryo mengangguk dalam peluknya. Merasakan hal manis yang tidak pernah ingin dia lewatkan seumur hidupnya. Selama ini dia terlalu fokus dengan pekerjaan demi memenuhi kebutuhan keluarga sampai lupa jika ada kewajiban lain yang harus dijalani.
Menjadi sosok yang membuat Shaira memiliki rumah. Menjadi Papa yang baik. Aryo melupakan peran pentingnya sampai membuat Shaira banyak kehilangan kasih sayang darinya. Dia sangat menyesal mendengar ucapan putri satu-satunya itu.
Berharap dengan apa yang sudah terjadi menjadi pembelajaran untuk Aryo maupun Key. Sekeras batu masih bisa lunak jika ditetesi air terus menerus. Seperti itu perumpamaan yang bisa Shaira berikan kepada kedua orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece (Selesai)
Chick-LitBiarkan aku menyusun satu persatu puzzle permasalah dalam hidupku, nanti setelah semuanya selesai. Biarkan aku menetapkan pilihan. Menata masa depan denganmu atau tanpamu... -Shaira Ai Darnisha- - DILARANG PLAGIAT cover & cerita : DISAFRA