Aku penuh darah. Akan berdarah juga kamu jika berani mendekat...
-Puzzle-
Langkah Shaira terhenti. Di hadapannya berdiri seseorang yang selama seminggu ini berusaha ia hindari dengan segala cara, Aldan.
Sudah hampir tujuh hari Shaira seperti sedang bermain petak umpet. Bukan dengan anak-anak kampus lainnya, tapi dengan perasaannya sendiri. Dan tentu saja, dengan lelaki yang kini menatapnya diam-diam dari kejauhan.
Ia menyamarkan dirinya, seolah ingin jadi sosok baru. Biasanya Shaira datang ke kampus dengan celana dan kemeja rapi, rambut dikuncir tinggi seperti biasa. Tapi selama seminggu ini, ia memilih rok selutut dan mengganti gaya rambutnya menjadi curly terurai. Seakan perubahan kecil itu bisa membuatnya tak dikenali.
Tak hanya itu, Shaira bahkan rela mengorbankan kenyamanannya, meninggalkan kebiasaan pergi bareng Fahira hanya demi menghindari kemungkinan bertemu Aldan. Ia memilih ojek online, rute yang lebih sunyi, langkah yang lebih cepat, dan hati yang lebih tidak tenang.
Semua agar tidak bertemu. Semua agar tidak harus berhadapan dengan perasaan yang belum sanggup ia uraikan.
Kini, Shaira berdiri terpaku. Di hadapannya, lelaki yang selama seminggu ini dia hindari berdiri dengan wajah datar, hampir tanpa ekspresi, Aldan.
Bibirnya yang tertutup masker tergigit gugup, refleks karena rasa panik yang sulit dijelaskan. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Aldan. Shaira takut, bukan karena Aldan orang jahat, tapi karena dia terlalu baik dan Shaira belum siap menatap kebaikan itu setelah menolaknya diam-diam.
"Bisa ikut saya sebentar?" suara Aldan terdengar tenang, tapi sorot matanya tak main-main. Tatapannya menembus langsung ke dalam mata Shaira, seolah ingin membaca isi hatinya yang paling dalam.
Selama seminggu Shaira menghilang. Menutup akses bertemu. Dan selama itu pula, Aldan memilih diam. Tidak mencarinya, tidak menuntut apapun. Seolah paham, Shaira butuh waktu. Tapi hari ini Aldan sudah menunggu cukup lama. Waktunya mendengar, waktunya bicara.
"Mas..." tahan Shaira saat jemari Aldan menyentuh pergelangan tangannya, mengajaknya melangkah.
Aldan berhenti. Menoleh pelan. "Aku bisa jalan sendiri," ucap Shaira pelan, nyaris tak terdengar.
Aldan tidak berkata apa-apa. Hanya mengangguk singkat, lalu melepaskan genggamannya. Ia membiarkan Shaira melangkah lebih dulu. Menatap punggung gadis itu yang berjalan dengan pelan namun pasti.
Shaira menahan rasa gugup yang makin sulit dikendalikan. Sejak Aldan menyatakan perasaan dan mengajaknya berpacaran, dunia Shaira terasa berubah. Bukan karena tidak suka, tapi karena terlalu malu. Terlalu bingung. Bahkan sekadar menatap mata Aldan saja rasanya seperti mendorong dirinya ke jurang rasa bersalah.
Mobil yang dikemudikan Aldan melaju pelan, tenang, seolah memberi ruang agar waktu ikut berjalan lambat. Shaira duduk diam, manis, tanpa berani membuka suara. Tatapannya tertuju pada jendela, memperhatikan gedung dan pepohonan yang berlalu dengan cepat, berharap bisa mengalihkan degup jantung yang semakin tak karuan.
Aldan fokus pada kemudi. Namun sesekali matanya melirik ke arah Shaira. Bukan menuntut jawaban, bukan menunggu penjelasan, hanya ingin memastikan gadis di sampingnya baik-baik saja.
Seperti biasanya, tak ada percakapan yang mengisi ruang. Dan perlahan, Shaira mulai sedikit memahami pola Aldan, pria itu memang tak banyak bicara. Diamnya bukan dingin, tapi tenang. Sederhana tapi jelas, dan jujur. Aldan tidak pernah memaksa.
Justru karena itulah, Shaira makin tidak tahu harus bagaimana.
"Mas." Shaira akhirnya membuka suara, suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh suara mesin mobil.

KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece (Selesai)
Genç Kız EdebiyatıBiarkan aku menyusun satu persatu puzzle permasalah dalam hidupku, nanti setelah semuanya selesai. Biarkan aku menetapkan pilihan. Menata masa depan denganmu atau tanpamu... -Shaira Ai Darnisha- - DILARANG PLAGIAT cover & cerita : DISAFRA