1:03

15 1 0
                                        

Kamu yang aku kira berbeda, ternyata sedikit menimbulkan luka juga...

-Puzzle-

Sesampainya di lokasi, tanpa menunggu Aldan yang tengah mencari tempat parkir, Shaira langsung melangkah menjauh dan bergabung dengan kelompok yang sudah mulai berkumpul. Ia tak ingin terlihat menunggu atau seolah menanti kedatangan Aldan, buat apa? Lagipula, laki-laki itu sudah dewasa, tak butuh ditemani untuk memarkir motor.

"Gimana baginya, Mas?" tanya Candra ketika Aldan akhirnya menyusul dan berdiri di samping Shaira, meski gadis itu tampak tak menyadarinya sama sekali.

"Bagi dua aja. Lampu merah yang ini, sama perempatan sana," jawab Aldan tenang. "Sesuai boncengan aja. Mas Farhan, Nabila, Diki, Salma, dan Candra bagian lampu merah sini. Sisanya ke perempatan."

Semua tampak setuju dan mulai menyebar sesuai pembagian. Shaira berdiri diam, bingung. Ia menoleh kiri-kanan, mencari wajah yang familiar. Di kelompok ini, hanya Gilang yang ia cukup kenal. Mas Aji? Ya, sedikit. Tapi Mbak Cintya? Shaira nyaris belum pernah berbincang langsung dengannya.

"Ayo, Dek," suara lembut itu membuat Shaira tersentak kecil.

Cintya Jasmine, kakak tingkat satu angkatan dengan Aldan, berdiri di sampingnya, menawarkan senyum hangat yang membuat hati Shaira sedikit tenang. Ada sesuatu dari cara Cintya menyapa yang terasa tulus dan ramah.

Shaira mengangguk pelan dan mulai berjalan di samping Cintya.

"Nanti kita berdiri di dekat lampu merah, Mbak?" tanyanya hati-hati, mencoba membuka percakapan.

"Iya," jawab Cintya sambil menunjukkan kardus di tangannya. Ia menyerahkan satu kepada Shaira yang sudah diberi label besar Bakti Sosial – Bantu Korban Banjir. "Pegang ini ya. Nanti kita gantian suara biar nggak serak," ucapnya dengan tawa kecil.

Shaira mengangguk lagi. Meski baru pertama kali melakukan kegiatan ini, keberadaan Cintya membuatnya merasa tidak seasing yang ia bayangkan. Dalam hati, ia mengakui bahwa kakak tingkat satu ini, menyenangkan.

Sejujurnya, ini di luar zona nyaman Shaira. Selama hidupnya, ia belum pernah turun ke jalan meminta donasi. Dulu di SMA, kegiatan sosialnya sebatas patungan dan berbagi takjil ke masjid atau yayasan. Tapi berdiri di pinggir jalan raya, membawa kardus dan menyapa orang asing? Ini pengalaman baru.

"Sha, pelan-pelan!" seru Gilang dari belakang, membuat Shaira tersentak kaget. Ia nyaris terjatuh setelah tersandung trotoar saat hendak menyeberang jalan.

Shaira terdiam, wajahnya sedikit meringis saat merasakan nyeri di ujung kakinya. Ia melirik ke bawah, ada sedikit goresan di pergelangan kakinya akibat tersandung trotoar tadi. Untung saja hanya luka kecil, tidak sampai parah.

Tak lama kemudian, Gilang Akbar Ramadhan, teman seangkatannya, sudah berdiri di sampingnya. Lelaki itu secara refleks berdiri sedikit ke depan, melindungi Shaira dari deretan kendaraan yang melaju kencang saat mereka bersiap menyeberang jalan.

"Thanks, Gilang," ucap Shaira cepat.

"Ayo, kapan mulai nih?" tanya Shaira sambil celingak-celinguk, bingung melihat kendaraan yang seolah tak berhenti.

"Sek, masih lampu hijau,"balas Gilang dengan nada kalem, seolah ini hal biasa baginya.

Shaira mengangguk pelan, matanya tak lepas dari lampu lalu lintas yang berdiri kokoh tak jauh dari tempatnya berdiri. Di bawah terik matahari, ia berdiri sambil memeluk kotak kardus bertuliskan Bakti Sosial – Bantu Korban Banjir, menunggu lampu hijau berubah merah. Begitu lampu berganti, Shaira mengikuti Gilang yang sudah melangkah lebih dulu ke tengah jalan.

Puzzle Piece (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang