Satu persatu kejahatan mulai terlihat, tapi hebatnya aku masih bersikap seakan semua baik-baik saja...
-Puzzle-
Terkadang, Shaira merasa dunia ini tidak pernah benar-benar berpihak padanya. Sejauh apa pun langkah yang ia ambil, sekeras apa pun usaha yang ia lakukan, tetap saja tak pernah cukup di mata kedua orang tuanya. Apapun yang ia capai, selalu saja ada celah yang dianggap kurang. Selalu ada standar yang tak sanggup ia capai.
Sudah berkali-kali panggilan dari Mama muncul di layar ponselnya. Namun, Shaira hanya menatapnya, tak ada niat sedikit pun untuk segera menjawab. Jantungnya berdebar tiap kali nama itu muncul, bukan karena rindu, tapi karena takut. Ketakutan yang perlahan membentuk dinding tebal dalam hatinya.
Kalau Tuhan mengizinkan... bolehkah ia meminta untuk tidak pernah dilahirkan? Daripada terus menjadi anak yang selalu salah, selalu gagal di mata orang tuanya, Shaira terkadang berpikir, akan lebih baik jika ia tidak pernah ada.
Perlahan, tangan Shaira meraih ponsel yang tergeletak di kasur. Jemarinya bergetar saat akhirnya ia memutuskan untuk menjawab panggilan yang sejak tadi ia hindari. Entah apa yang akan terjadi setelahnya, ia akan menyesal atau tidak, Shaira tak lagi peduli.
"Ke mana aja kamu! Mama nelpon dari tadi, baru diangkat sekarang?!" suara nyaring sang Mama langsung menyambar dari seberang, membuat Shaira spontan menjauhkan ponsel dari telinganya.
Ia menutup mata sejenak, menahan gejolak yang hendak meledak. Napasnya dihembuskan pelan, mencoba mengumpulkan ketenangan.
"Shaira tadi di kamar mandi, Ma. Ada apa?" tanyanya akhirnya, berusaha terdengar selembut mungkin. Ijinkan dia berbohong kali ini, hanya agar ia bisa tetap bernapas malam ini.
"Tahun depan Mama daftarin kamu Kedinasan. Catat tanggal ujiannya baik-baik. Jangan sampai gagal lagi!"
Lagi?
Kata itu menusuk seperti sembilu. Lagi, seolah kegagalan kemarin bukan sekadar batu sandungan, tapi aib yang harus ditebus.
Shaira menggenggam ponselnya lebih erat, menahan napas yang mulai terasa sesak. Ini bukan pertama kalinya. Sudah sejak lama orang tuanya. terutama Mama. berambisi besar agar dirinya mengikuti jejak mereka. Papa lulusan PKN-STAN, Mama dari STIS. Lalu mereka berharap anaknya akan jadi "lulusan hebat berikutnya", kebanggaan yang bisa dipamerkan ke semua orang.
"Mah... Shaira udah nyaman di jurusan yang Shaira pilih. Shaira nggak mau tes ujian lagi..." suara Shaira lirih, nyaris seperti bisikan. Ada getir yang tertahan dalam setiap katanya.
"Nggak bisa, Shaira!" bentak Mama dari seberang telepon. "Keputusan Mama dan Papa udah bulat. Kamu jangan bikin malu Mama! Semua anak teman Mama itu masuk kedinasan, bahkan sekarang mereka udah sukses. Masa kamu yang nggak bisa? Lepasin kuliahmu sekarang dan fokus ujian! Jangan ngeyel, Shaira! Kamu mau jadi anak durhaka?! Hah?!"
Shaira menahan napas. Hatinya mulai retak lagi. Setiap kalimat Mama seperti mengikis harga dirinya pelan-pelan.
"Mah... tahun lalu Shaira udah nurutin semua permintaan Mama. Semua jalur, semua ujian kedinasan Shaira coba... Tapi hasilnya nihil, Mah. Mungkin rezeki Shaira bukan di sana," ujarnya, mencoba menahan gemetar dalam suaranya.
"Siapin diri kamu! Biar Mama yang urus semuanya, dari izin sampai persiapan ujian. Kamu tinggal belajar. Apa susahnya sih?! Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, paham?! Ya udah. Mama tutup. Jangan lupa istirahat."
Tut.
Panggilan terputus.
Dan begitu juga kekuatan Shaira.

KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece (Selesai)
Romanzi rosa / ChickLitBiarkan aku menyusun satu persatu puzzle permasalah dalam hidupku, nanti setelah semuanya selesai. Biarkan aku menetapkan pilihan. Menata masa depan denganmu atau tanpamu... -Shaira Ai Darnisha- - DILARANG PLAGIAT cover & cerita : DISAFRA