1:01

25 2 1
                                        

Ucapan sapa pertama kali yang keluar dari bibirmu membalikkan tiga ratus enam puluh derajat jalan cerita hidupku...

-Puzzle-

Tap.

Gadis bernama lengkap Shaira Ai Darnisha menutup buku diary kesayangannya dengan satu tepukan ringan, seolah ingin mematri setiap kalimat di dalamnya agar tak mudah hilang. Buku itu telah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya selama empat tahun terakhir, tempat semua keluh kesah, harapan, dan perasaan-perasaan yang sulit diungkapkan tersimpan rapi dalam tulisan tangan yang kadang gemetar, kadang penuh amarah.

Di sana, Shaira menulis dirinya sebagai pemeran utama, sosok protagonis dalam cerita cinta yang penuh luka. Ia bukan gadis yang manis seperti tokoh utama dalam novel romansa populer, tapi justru 'si paling tersakiti', yang terlalu sering berdialog dengan dirinya sendiri tentang arti kebahagiaan dan ketulusan.

Tahun ini adalah tahun kedua Shaira menjalani kehidupan sebagai mahasiswi. Ia jauh dari rumah, jauh dari pelukan hangat orang tuanya, jauh dari tawa sahabat masa SMA, dan yang paling jauh... dari dirinya sendiri yang dulu. Lima tahun sudah Shaira mencoba mengubur perasaan terhadap seseorang, laki-laki yang pernah membuatnya percaya bahwa cinta pertama itu nyata dan indah, sampai akhirnya menjadi luka yang susah disembuhkan.

Seandainya waktu bisa diputar, Shaira ingin memberi tahu dirinya yang dulu bahwa jatuh cinta bukan berarti harus bertahan mati-matian. Ia tahu, seharusnya saat itu ia mundur. Tapi rasa itu terlalu dalam, terlalu hangat untuk dilepas, dan terlalu sakit saat disimpan sendirian. Dan mungkin... itulah alasan mengapa orang bilang cinta itu buta. Karena Shaira bukan hanya buta, tapi juga kehilangan arah, tersesat dalam harapan yang dibiarkannya tumbuh sendiri, lalu mati tanpa sempat mekar.

"Harusnya Tuhan nggak usah ciptain Zaidan, bikin repot perasaan gue aja!" dumal Shaira sambil merapikan buku-buku yang berserakan di atas meja. Tangannya sibuk, tapi pikirannya tidak.

Hari ini terasa sangat melelahkan. Banyak aktivitas tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Energi terkuras, semangat nyaris habis. Sebagai anak yang dikenal aktif dan selalu bisa diandalkan, Shaira justru punya satu kebiasaan yang tidak pernah bisa ia hilangkan, overthinking. Bahkan untuk hal sekecil pilihan kata saat berbicara, ia selalu mempertanyakan, "Apa yang gue lakuin tadi udah bener?"

Jangankan soal tugas kuliah, urusan menata perasaan sendiri saja sudah cukup membuat kepalanya sesak.

Shaira akhirnya bangkit dari kursinya dan melangkah keluar dari perpustakaan. Waktu menunjukkan sore, dan ia harus segera menuju kelas Statistika. Langkahnya berat, belum lagi jarak dari perpustakaan ke gedung Fakultas Teknik yang seolah diposisikan di ujung dunia.

'Kenapa juga gedung FT ada di pojok Univ?' rutuk Shaira dalam hati, sambil menghela napas panjang. Tumpukan keluhannya hari ini tampaknya belum selesai.

"Sha," langkah Shaira terhenti mendengar seseorang memanggil namanya.

"Ya?" tanya Shaira pelan, menoleh, dan menemukan sosok lelaki yang cukup dikenal menghampirinya.

"Ketinggalan," ucap lelaki itu singkat, menyerahkan binder biru, milik Shaira yang ternyata tertinggal di meja tadi.

Lelaki itu kemudian pergi begitu saja dari hadapan Shaira, meninggalkan jejak langkah yang entah kenapa terasa begitu dalam. Shaira hanya bisa berdiri terpaku, memandangi punggung yang perlahan menghilang dari pandangannya.

Aldan Yasa Mahendra.

Nama itu terus bergaung di kepala Shaira. Manusia bumi yang akhir-akhir ini entah kenapa sering muncul dalam pikirannya, tanpa permisi. Kakak tingkat sekaligus Ketua Himpunan Jurusan yang begitu banyak dibicarakan oleh teman-temannya. Tentang ketampanannya, sikapnya yang tenang, aura kharismanya yang begitu menonjol... semuanya menjadikan sosok Aldan nyaris tak tersentuh.

Puzzle Piece (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang