Harusnya aku tidak perlu banyak berpikir, merasa tidak aman, merasa paling buruk dan merasa tidak bisa mencintai lagi. Harusnya dengan melihatmu saja aku bisa langsung jatuh cinta, tanpa berpikir panjang...
-Puzzle-
Langkah kaki membawa Aldan memasuki rumah dengan kedua tangan penuh belanjaan bersama dengan sang Ibu yang berjalan di belakangnya.
"Mas bawa cokelat, ndak?" tanya Anna tiba-tiba datang menghampiri Aldan sedang menaruh belanjaan di meja makan.
Aldan menoleh mendapati Anna berdiri di sampingnya dengan senyum mengembang berharap pertanyaan yang dia ucapkan dikabulkan dengan baik oleh sang Kakak.
Tanpa berbicara banyak Aldan memberikan dua buah coklat kesukaan Anna. Dengan riang perempuan berusia enam tahun itu mengambil coklat dari tangan Aldan.
"Anna sudah ashar?" tanya Ibu mulai menata belanjaan.
"Sudah Ibu, Terima kasih, Mas," ucap Anna dengan suara riangnya lalu pergi dari dapur membawa dua cokelat di tangannya.
"Jangan lupa rapikan baju untuk besok Anna!" teriak Ibu dari dapur kepada Anna yang sudah menghilang masuk ke dalam kamar.
"Iya, Ibu..." balas Anna dengan nada lembut membalas ucapan sang Ibu.
Ibu menggelengkan kepala melihat tingkah laku putri kecilnya, kemudian wajahnya menatap Aldan yang ikut sibuk menata belanjaan di dapur.
"Mas benar ndak mau ikut Ibu sama Ayah ke Jakarta?" tanya Ibu dengan lembut kepada Aldan.
Syifa Azania, nama lengkap Ibu dari Aldan. Seorang Ibu rumah tangga sekaligus wanita karir dengan kesibukan pekerjaan mulia tidak terkira setiap harinya. Perempuan berhati lembut yang Aldan kenal.
Tidak pernah Aldan dengar kalimat marah dari mulutnya selama dia menjabat sebagai anak. Teriakan-teriakan seperti mengingatkan itu hal biasa dan menjadi wajar karena jarak bicara cukup jauh dengan lawan bicaranya, sehingga membuat effort cukup besar. Seperti Ibu bicara kepada Anna tadi.
Gerakan tangan Aldan terhenti. Satu alisnya naik sesekali berpikir atas pertanyaan yang Ibu berikan kepadanya.
"Al ada tanggung jawab di Himpunan, ndak mungkin Al tinggalin," jawab Aldan setenang mungkin.
Terlahir sebagai anak pertama membuat Aldan banyak belajar salah satunya tentang tanggung jawab. Dari dulu sampai sekarang sikap tanggung jawab yang diterapkan orang tuanya masih membekas di diri Aldan.
Terutama didikan Ayah yang lumayan keras, apalagi soal agama. Tidak pernah beliau segan mengingatkan, menegur, atau bahkan sampai menghukum salah satu anaknya baik Aldan maupun Anna yang masih kecil. Jika di mata Ayah salah, maka cara membenarkan yang tepat adalah menasehatinya dengan cara yang berbeda, tergantung level kesalahan yang dibuat.
Seperti contoh ketika masih kecil. Usia Aldan baru saja menginjak tujuh tahun. Pada saat itu bulan Ramadhan. Meskipun terbilang usia dia masih kecil, tetapi Aldan mulai mencoba berpuasa sejak berusia lima tahun, ketika dia bersekolah di Paud.
Saat itu Aldan masih menjadi anak ikut-ikut teman. Dia tau salah, tapi dia melakukan itu. Aldan buka puasa secara diam-diam di warung dekat rumah. Awalnya kedua orang tua Aldan tidak tau jika dia tidak puasa, sampai akhirnya ketika berbuka Ibu bingung kenapa Aldan hanya diam dan tidak mengambil satupun makanan yang berada di meja.
Sampai akhirnya ketika Ibu sholat tarawih, tetangga pemilik warung bercerita jika tadi siang Aldan jajan di warungnya membeli gorengan dan air mineral. Padahal setahu tetangga pemilik warung tersebut, Aldan ini sudah terbiasa puasa Ramadhan. Maka akan sangat aneh jika melihat Aldan tidak puasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece (Selesai)
Literatura FemininaBiarkan aku menyusun satu persatu puzzle permasalah dalam hidupku, nanti setelah semuanya selesai. Biarkan aku menetapkan pilihan. Menata masa depan denganmu atau tanpamu... -Shaira Ai Darnisha- - DILARANG PLAGIAT cover & cerita : DISAFRA