10: Ngulum Anunya

9.7K 267 30
                                    


Bangun-bangun, wajahku ada di depan ketek Ido. Bulu keteknya yang lebat menggelitik ujung hidungku. Namun bukan itu yang membuatku terpaksa bangun.

"A? A? Bangun, A. Udah mau jam tujuh."

Aku membuka mata. Benar saja, wajahku ada di depan ketek Ido. Aromanya seperti yogurt. Enak. Mataku agak tergelitik saat ujung rambut-rambut ketiak itu masuk ke mataku. Kemudian aku menengadah.

Kutemukan diriku memeluk Ido di perut. Kakiku sih sudah melintang ke arah lain. Sementara Ido masih molor dengan satu tangan terangkat ke atas, memamerkan keteknya yang rimbun.

Asu.

Apa yang terjadi?

"A? Udah mau jam tujuh, A."

Kail menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku mendongak dan melihat sopir ganteng itu sudah tampak rapi di samping tempat tidur. Mungkin sudah mandi juga karena rambutnya basah.

Sebenarnya aku masih ingin membenamkan wajahku di ketek Ido dan menunggu barang lima atau sepuluh menit seraya aku mengendus aroma tubuh yang enak ini. Namun aku tak punya waktu lagi. Aku langsung terduduk di atas tempat tidur. Memijat kepalaku yang pusing. Jantungku berdebar-debar karena aku langsung bangun.

Sambil menenangkan diri, aku mengamati Ido hanya mengenakan kolor biru yang longgar. Bagian selangkangannya membentuk tenda. Morning wood. Ingin sekali aku mengagumi tubuh setengah telanjang Ido itu, tetapi Kail mengajakku bicara.

"Mau dibeliin apa, A? Entar saya keluar buat cari sarapan."

"Hah?" kataku masih bego.

"Sarapan, A. Supaya Aa bertenaga, sok ku saya beliin sarapan di luar—"

"Enggak usah," penggalku sambil menguap. Kurasa aku belum mendapatkan cukup tidur. "Kita dapat sarapan dari hotel."

Kail membelalak. "Dapat sarapan?"

Aku mengangguk. "Gratis."

Kail membelalak lagi. "Gratis?" ulangnya. "Enggak bayar?"

Oh iya aku lupa, Kail belum pernah tinggal di hotel. Apalagi hotel bintang lima macam begini. Ya memang sih enggak semua hotel menawarkan breakfast. Beberapa tahun terakhir, demi mendapatkan tamu lebih banyak, hotel menawarkan fasilitas harga murah room only (tanpa sarapan). Tapi kan aku memesan paket meeting. Jadi aku ya mendapat sarapan.

"Iya, enggak bayar. Jadi Bang Kail enggak usah pergi keluar. Aku mandi dulu, ya."

"Oh, ya sok atuh, A." Kail menggaruk kepalanya. Mungkin bingung sekarang harus ngapain. Mungkin sebelumnya dia berpikir dia harus jalan keluar hotel mencari bubur atau nasi kuning. "Asyik nya, A. Tinggal di hotel dapat sarapan gratis. Pantesan kamar mandina enggak ada pintuna. Mungkin uangnya habis buat nyiapin sarapan."

Asu. Aku baru ingat lagi kamar mandinya enggak berpintu.

"Untung laki-laki semua yang nginep di sini," kekeh Kail sambil geleng-geleng kepala. "Kalau yang nginepnya bukan muhrim, gimana ya A pas mau mandi?"

Ngapain juga yang bukan muhrim nginep berdua di kamar kayak begini? Misal ada, pasti tujuan awal mereka buat maksiat. Jadi kamar mandi tak berpintu bukanlah masalah utama mereka.

"Bak mandina téh bagus," kata Kail lagi seraya aku berjalan ke kamar mandi, "tapi enggak ada airnya. Meni repot kalau harus ngisi air dulu."

Yang Kail maksud adalah bathtub.

Jadi, dari kamar tidur, kita akan masuk ke area kamar mandi yang cukup luas. Ada konter panjang dengan wastafel dan cermin besar. Di seberangnya ada toilet dengan bilik tertutup, berpintu tapi tak berkunci. Di sebelahnya ada bilik shower, tanpa pintu. Dan di ujung ruangan, di bagian paling besar, romantis, dan mewah, ada bathtub putih yang tampak mahal. Bathtub itu berdiri di atas bebatuan gosok kali, yang terhampar membentang selebar ruangan. Lantai kayu seperti di ruang sauna berjejer di depan bathtub.

Dua Sopir GantengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang