30: Si Pitung Udah Kagak Sabar

4.6K 412 246
                                    


Ido membalas cumbuanku.

Ido memagut bibirku, menjilatinya, lalu memagut lagi hingga bibirku tertarik ke dalam mulutnya. Dia bukan pencumbu ulung, tetapi aku bisa merasakan kesungguhan dalam ciuman itu.

Aku menindih seluruh tubuh Ido sekarang, memegang kedua pipi Ido supaya bisa menjaga bibirnya tetap di bibirku. Kedua kontol kami beradu. Sama-sama keras. Saling digesekkan di balik celana masing-masing. Ido mendekap tubuhku. Satu tangannya bergerilya di punggungku. Satu tangan lain meremas pantatku.

Kulihat Ido memejamkan mata, tetapi air mata keluar dari sudut matanya.

Jadi kulepaskan cumbuanku. "Kenapa nangis?" bisikku.

Ido menggeleng. Dia tak menjawab apa pun. Dia kembali menaikkan kepalanya untuk mencumbuku.

Ciuman ini lebih terasa manis dibandingkan ciuman kami di Bengkulu. Jari-jari Ido menekan kulitku, seakan-akan ingin mencakarnya. Remasan tangan Ido di pantatku begitu kokoh, seolah-olah ingin menyobeknya. Aku merasakan ngilu, tetapi secara bersamaan bergairah bukan main. Sesekali aku melenguh, "Hmmmph ...." Membuat Ido semakin dalam melesakkan lidahnya ke dalam mulutku.

Setelah bermenit-menit saling berciuman, kuangkat kepalaku dan terkekeh. Wajah kami basah oleh ludah.

"Enak Bang?" tanyaku.

"Enak anjir," bisik Ido sambil terkekeh dan berusaha mengecupku lagi. Tapi kali ini aku menyetopnya dari mencumbuku berlama-lama.

"Aku pengin nikmatin tubuh Abang."

Dengan gembira, Ido langsung melipat kedua tangannya di belakang kepala. Aroma keteknya yang seperti yogurt langsung menguar, membuatku semakin sange. Kumainkan bulu ketek itu dengan jemariku, menyusupkannya ke sela-sela jari, naik-turun. Setiap ujung bulu keteknya menggelitik telapak tanganku.

"Hehehe," aku terkekeh, "udah lama aku pengin pegang ini."

"Masa?" Ido menoleh ngeri ke keteknya sendiri. "Rimbun gitu anjir. Pengin gue cukur tapi lupa mulu."

"Enggak usah. Sonia suka yang berbulu, kok."

"Kalau Bang Endra suka juga enggak yang berbulu?"

"Suka banget."

"YES!" sahut Ido bangga.

"Kenapa?"

"Ketek Bang Kail kan botak."

"Oh iya."

Aku kok yang mencukurnya. Hahaha.

"Bang Kail pengin banyak bulu kayak Bang Ido gini. Jadi dia cukur, biar bulunya tumbuh lebih banyak," terangku. "Punya Abang jangan dicukur, ya."

"Kagak akan. Punya gue mah—eh, eh, jangan, Bang! Geli!" Ido mencoba menghindar dari wajahku yang barusan akan kutanam di keteknya.

Aku terkekeh sambil menaikkan lagi tangan Ido yang sempat turun, lalu kutahan tangan itu agar tetap di atas kepala. Pokoknya ketek seksi Ido harus tetap terekspos.

"Aku pengin jilat nenen Abang, boleh?" tanyaku.

"Dikenyot juga boleh, Bang!"

Kukenyotlah puting Ido sampai lelaki itu mengerang keenakan, "ARGH—"

Erangannya agak tertahan. Tubuh Ido mengentak-entak kecil sepanjang aku mengisap putingnya dengan lembut. Kumainkan puncak puting itu dengan ujung lidah, lalu kugigiti pelan-pelan.

Jujur saja rasanya asin. Mungkin karena tadi dia sempat olahraga dulu. Tapi sumpah, tetep enak dan bikin sange. Apalagi setiap aku mendongak, kulihat pemilik putingnya adalah lelaki ganteng berambut pendek. Yang meringis dan mengerutkan alis menahan segala sensasi yang diterimanya.

Dua Sopir GantengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang