8: Ini Boleh Dipegang, A?

8.1K 265 22
                                    


Homo bernama Norman itu benar-benar berdedikasi.

"Lewat tol aja. Ada kok exit Bandar Lampung," kata Norman. "Entar aku bisa tunjukin jalan."

"Iya, Mas. Sudah tahu," balas Kail dengan kekehan canggung. Entah Norman ini bego atau apa, Kail kan sopir truk. Dia sudah road trip ke Sumatera ratusan kali. Sudah hafal jalan-jalan arteri Sumatera tanpa perlu lihat peta lagi.

"Hotel kalian di mana, sih?" tanya Norman lagi. Matanya menatap ke arahku.

"Kenapa emangnya?" balasku.

"Nanti aku bantu cariin hotelnya di mana."

"Enggak usah. Aku sudah tahu kok, Mas." Aku belum tahu. Tapi aku bisa menggunakan Google Maps.

"Kebetulan aku belum dapat hotel buat malam ini di Lampung. Siapa tahu aku bisa booking di hotel yang sama kayak kalian."

Asu.

"Setahu aku udah full booked, Mas. Kan aku sewa buat acara bareng Pemda." Sebenarnya enggak, sih. Yang nginap cuma aku aja. Tamu-tamuku datang besok pagi.

"Aaah, I see." Norman manggut-manggut kecewa. "Ya siapa tahu aku bisa booking hotel terdekat di situ."

TOOOOOOTTT ...!!!

Suara klakson kapal roro berbunyi nyaring, menandakan kapal sebentar lagi merapat. Orang-orang mulai kembali ke kendaraan mereka. Semua truk sudah menyalakan lagi mesinnya.

"Eh, udah mau nyampe, ya? Yuk! Balik ke mobil masing-masing!" sahutku, mengabaikan pertanyaan Norman.

"Jadi di mana hotelnya?"

"Mas enggak balik ke mobilnya? Udah mau turun, lho."

Norman sudah membuka mulut untuk membantah, tetapi dia menyerah. Dia pun mengangguk dan akhirnya pamitan kepadaku dan Kail, lalu menaiki tangga menuju dek mobil-mobil pribadi. Katanya, dia akan menunggu kami di pintu keluar Pelabuhan Bakauheni.

Aku menghela napas lega sambil bersandar ke badan truk. "Maksa banget, sih," gumamku bete.

Kail menoleh dan mendengarnya. "Sabar, A. Ngadepin orang kayak dia mah kudu banyak-banyak ikhlas."

"Aku enggak bisa kayak Bang Kail yang sesabar itu," rutukku. "Pokoknya aku enggak mau barengan sama dia. Kalau bisa, jangan sampe dia tahu hotel kita."

Kail terkekeh kecil sambil mengusap kepalaku. "Santai , A. Pan saya nu nyetir. Bisa diatur." Kail mengedipkan sebelah mata lalu menepuk bahuku. "Yuk, masuk!"

Jadi, setelah Norman melabrakku di toilet, dia membuntutiku ke dek bawah menuju truk kami. Aku bete bukan main. Namun aku tak bisa berkata apa-apa. Dia memegang rahasia yang kusimpan baik-baik. Aku enggak mau Kail dan Ido tahu aku gay dan mencari bool di Pelabuhan Merak untuk kuentoti. Bisa hancur pertemanan kami!

Asu.

Dari obrolan menuju Merak tadi, aku yakin banget mereka ini anti sama homo. Tampak jelas, ada cerita masa lalu—yang belum kuketahui—yang pasti berhubungan sama homo. Kail terang-terangan bilang homo itu "jahat dan serakah". Jadi, aku enggak bisa menguak identitasku yang sebenarnya, atau aku akan dianggap jahat dan serakah juga.

Aku kapok pake fotoku sendiri. Nanti-nanti kupakai foto artis Thailand saja. Dan nama akunku bukan SANGE RIGHT NOW.

Memalukan.

Nah, karena aku tak bisa berkutik, kubiarkan Norman menyapa Kail yang masih asyik gitar-gitaran di atas truk. Dengan gembira Norman memanjat langsung ke atas truk, bergabung bersama Kail. Dan Kail, karena merasa tidak nyaman atas kehadiran Norman, langsung memeluk gitarnya di depan dada. Supaya badan telanjangnya tertutupi gitar.

Dua Sopir GantengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang