7: Aku Kiri Kowe Kanan

6.3K 251 23
                                    


Aku marah.

Terlebih kepada diriku sendiri.

Aku marah karena aku tidak memperhatikan jalan, sehingga aku tercebur ke dalam air. Aku marah karena aku ngaceng hanya karena melihat Kail tampil seksi. Aku marah karena diam saja saat digendong di dalam air, maupun di darat. Padahal aku bisa berjalan kaki dan berenang.

Aku marah kepada diriku sendiri.

Kail berkali-kali bilang, "Gapapa lah, A. Namanya juga musibah. Orang-orang juga pasti langsung lupa sama kejadiannya. Kakinya udah mendingan?"

Kakiku enggak kenapa-napa. Tapi aku butuh alasan logis mengapa diam saja saat digendong Kail dari dermaga ke truk. Jadi kubilang kakiku terkilir. Enggak bisa jalan.

Dan gara-gara itu, Kail bersikeras memijat kakiku menggunakan balsem.

Asu. Belum nyampe Sumatera, aku sudah dibuat baper tingkat dewa begini.

Kenapa dia harus mijitin kakiku juga, sih? Enak pula pijatannya. Saking enaknya, nyaris saja aku bilang, "Yang satu lagi dong, Bang," sebelum akhirnya teringat aku cuma pura-pura terkilir di satu kaki saja.

Aku dan Kail sudah mengeringkan tubuh kami. Aku mengganti baju dan celanaku dengan yang baru. Kail lagi-lagi hanya sarungan saja.

"Celana saya téh enggak banyak, A. Buat hemat, saya sarungan lah."

Ya tapi enggak telanjang dada juga, kali. Kan tadi sebelum nyemplung bajunya sempat dibuka. Kenapa enggak dipake lagi, sih?!

Kapal feri yang menjadi saksi bisu terceburnya aku ke laut sudah berangkat sedari tadi. Sekarang ada kapal feri baru yang akan mengangkut truk kami menyeberangi Selat Sunda. Jadi, Kail sudah duduk di depan kemudi, menyalakan mesin, menunggu truk di depan melaju ke dalam kapal.

Ido belum kembali ke truk. Jadi Ido tidak tahu kejadian basah-basahan barusan. Kecuali ada yang membeberkannya ke seantero pelabuhan.

"Udah di-WA si Ido biar ke sini," kata Kail, memecah keheningan.

Sedari tadi aku hanya diam saja sambil melamun. Memikirkan ketololanku. Kail sudah mencoba yang terbaik untuk menghiburku. Namun akunya masih merasa malu. Aku enggak berani menatap wajah Kail.

"Mau dipijat lagi?" tawar Kail.

"Enggak usah, Bang. Makasih."

"Aa marah ke saya?"

"Enggak," jawabku langsung. "Aku masih ... malu."

"Ya udah entar kita enggak usah naik atuh, A. Kita manjat ke atas truk aja. Nunggu di sana."

Untuk kali pertama, aku menoleh. "Bisa?"

"Enggak boleh sebenernya mah, A," jawab Kail, tersenyum. "Semua sopir ama penumpang harus ada di dek penumpang. Enggak boleh diem di kendaraan. Tapi biasana kita mah tiduran di atas truk, justru."

"Katanya di atas ada kabin buat tidur."

"Ada buat tidur mah. Gratis malah buat sopir mah, A. Kayak kasur-kasur gitu. Tapi kalau Aa enggak mau naik ke atas, entar kita duduk di atas truk . Saya temenin."

Aku membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, tetapi tak tahu harus mengatakan apa. Jadi aku menutupnya lagi. Yang keluar dari mulutku berikutnya adalah, "Makasih."

Ido muncul tak lama setelahnya. Tahu-tahu pintu truk terbuka dan Ido memanjat setengah untuk berkata, "Maaf, telat. Tinggal satu truk di depan."

"Ganjal ban kumaha, Do?"

Dua Sopir GantengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang