16 - Tega

61 21 38
                                    

Happy Reading 🦋

Violla menatap gedung-gedung tinggi yang berjejer di sepanjang jalan Jakarta. Pikirannya terlempar ke kejadian kemarin. Bohong jika ia sudah sepenuhnya pulih dari rasa sakit setelah di bohongi Cakra. Namun ia tetap menghembuskan nafasnya dengan perasaan sedikit lega. Karena setidaknya Cakra sudah minta maaf dan berjanji tak akan mengulangi nya lagi. Tanpa Violla tau bahwa kejadian kemarin merupakan awal dari keretakan hubungan mereka yang baru berjalan 1 bulan.

Taxi yang Violla tumpangi berhenti tepat di depan gapura bertuliskan ‘PEMAKAMAN KRISTEN’. Dengan sebuah buket bunga Anyelir putih yang ia dekap erat, Violla melangkahkan kaki nya memasuki area luas berisi banyak gundukan tanah serta pohon Kamboja berbunga putih yang tumbuh di sekitar nya. Ia berhenti dan berjongkok di depan sebuah makam yang dibalut rumput hijau dengan lambang salib di atasnya.

Violla tak kuasa menahan mata nya yang mulai berkaca-kaca. Menatap batu nisan bertuliskan nama orang terkasih nya, KARA UPATI, Lahir : 18 Februari 2005, Wafat : 18 Februari 2020. Perlahan ia meletakkan buket bunga yang ia bawa di atas makam Pati, mengusap perlahan nisan tersebut dengan air mata yang perlahan menetes tepat di atas  nya.

“Pat, aku rindu kamu...” Violla mengusap air matanya dengan kasar. Ia sudah berjanji untuk tidak menangis lagi, tapi berulang kali juga janji itu ia ingkari setiap mendatangi makam Pati.

“Maafin aku Pat...” Suara Violla benar-benar lirih. Sesak di dada nya benar-benar membuat nya menderita.

Bayangan masa lalu melintas kembali di benaknya. Menyeruak bersama dengan turunnya tetesan air hujan dari langit. Violla tak memperdulikan dirinya yang mulai basah terkena air hujan, bahkan ia mulai menangis tersedu-sedu seraya memeluk nisan Pati.

“Pat... aku pengen ketemu kamu, pengen meluk kamu lagi kalau aku kesepian di tinggal papa sama mama,” jeritan Violla terdengar pilu dan samar bercampur dengan suara hujan yang tak kunjung menampakkan akan reda.

Ia mengangkat tubuhnya dari nisan Pati. Menengadah kan wajahnya ke atas, menatap langit yang terlihat gelap, seakan ikut merasakan kesedihan dan kerinduan hati nya. Dan lagi-lagi, Violla menangis bersama hujan. Di samping makam Pati dan di bawah langit yang menjadi saksi betapa hancur nya ia.

Beribu rasa penyesalan muncul menyelimuti hatinya. Berharap bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki segala hal yang telah membuat hidup nya berubah.

* * *

Violla memeluk erat tubuhnya yang kedinginan hebat akibat hujan yang turun tadi siang. Ia sedang menunggu taxi di sebuah Halte di tepi jalan.

Suasana sore itu terasa mencekam di sekitar Violla. Jalanan masih terlihat sepi karena hujan baru saja reda. Langit pun masih terlihat mendung.

Tubuh Violla mendadak bergetar hebat, sepertinya ia akan demam. Mata nya dari tadi menatap ke arah jalanan di depannya. Berharap Taxi segera muncul dan membawanya pulang.

Violla sudah menguap beberapa kali, matanya bahkan mulai tertutup perlahan. Rasa kantuk menyerangnya, membuat Violla tertidur lelap dengan bersandar pada dinding Halte di sebelahnya.

Entah sudah berapa lama Violla tertidur saat ia merasa tubuhnya diguncang oleh seseorang.

Perlahan ia membuka matanya dan menemukan sosok Bian berdiri di depannya.

“Lo kenapa tidur di sini La? Pakaian lo juga basah semua,”

Violla mengusap mata nya perlahan. Berusaha mengusir rasa kantuk yang masih mendera nya. “Gua lagi nunggu taxi Bi. Lo kok di sini?” Tanya Violla heran.

“Kebetulan lewat, terus liat lo di sini. Mau balik bareng gue ngga?”

Violla tak langsung menjawab. Ia menatap keadaan sekeliling yang mulai petang, mungkin sudah hampir malam. Namun ia masih ragu untuk menerima tawaran Bian, mengingat Cakra pernah marah pada nya terakhir kali pulang bersama Bian.

Senior High SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang