Bagian Dua Puluh Tiga

1.4K 96 0
                                    

Harsono mengumpulkan ketiga gadis di dapur. Raisa dengan jilbab warna ungunya duduk rapi diantara Deva dan Juwita. Harsono menatap Raisa lekat.

"Raisa. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Maka kamu sudah harus mengerti tanggung jawab. Rumah ini tidak ada perempuan yang mengurus rumah tangga. Ibunya Rio sudah meninggal enam tahun lalu. Hanya ada pembantu. Saya harap kamu bisa berperan sebagai perempuan tertua di keluarga ini." Harsono berbicara santai namun penuh penekanan.

"Nggih pa.. saya siap." Jawab Raisa Spontan.

"Ini kamu yang pegang." Harsono menyerahkan sebuah buku rekening.

"Apa ini pa?" Raisa menerimanya.

"Itu adalah anggaran untuk kebutuhan operasional rumah ini. Kamu yang atur. Juwita dan Deva kamu harus bantu kakak ipar mu. Semua tugas ini tanggung jawab kalian bertiga." Harsono segera pergi.

Raisa, Deva dan Juwita membuka buku itu. Betapa terkejutnya mereka membaca isi buku itu karena nominalnya sangat besar. Rio datang dan mengampiri Raisa, duduk ditempat Harsono tadi duduk.

"Aku percaya kamu Sa. Kamu bisa mengelola. Juwita dan Deva akan membantumu. Juwita, Deva kalian harus patuh pada kakak kalian. Pulang sekolah harus pulang. Maksimal pulang ke rumah saat isya. Setelah itu tidak boleh keluar. Kalo kalian keluar harus ajak Raisa." Ucap Rio.

Raisa mengernyitkan keningya. Mencerna semua yang dikatakan oleh mertua dan suaminya. Juwita dan Deva menangguk. Rio segera meraih buku itu.

"Kamu hanya perlu mengkoordinir semua pekerja disini Sa. Dulu semenjak mama berpulang, papa dan aku yang mengkoordinir. Sekarang papa dan aku akan fokus pada pekerjaan kami. Kalo kamu sempat, ya kamu bisa memasak. Tidak ada paksaan untuk kamu memasak. Hanya papa meminta agar perempuan saja yang mengelolanya." Ucap Rio.

Raisa bernafas lega. Ia mengira ia harus mengerjakan semua pekerjaan di rumah ini sementara ia harus berkuliah. Sementara kini Juwita dan Deva segera beranjak untuk bersiap sekolah.

Rio mengajak Raisa berkeliling rumahnya yang mirip istana. Raisa tidak terkejut, sebab rumahnya pun demikian. Rio selalu menggandengnya kemanapun mereka pergi. Para pekerja di rumah itu tersenyum melihat perilaku pengantin baru itu.

Usai berkeliling mereka berlima berkumpul lagi di meja makan. Sarapan kali ini disajikan oleh pekerja dapur. Raisa melihat semua masakan khas Indonesia. Ia paling akhir mengambil makanan. Rio menatap istrinya.

"Raisa, papa percaya padamu. Siang papa mau ke Jember. Kamu dan Rio jaga rumah." Harsono beranjak meninggalkan mereka.  Dikuti oleh mereka berempat untuk menjalankan aktivitas masing-masing.

⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐

"Woy.. gendeng! Liburan malah Rabi" Dea menyambut kedatangan keduanya.

"Hish." Raisa tersenyum manis.

"Itu namanya laki! Kalo cinta dinikahi, bukan cuma dinaiki." Dea menyenggol tangan Rio. Rio segera menjauh.

"Ada istri." Jawab Rio. Ketiganya terbahak-bahak.

Menuggu mata kuliah dua jam lagi, Rio berkumpul bersama beberapa teman prianya, sementara Raisa duduk berdekatan dengan Dea. Dea sibuk membicarakan kekasihnya yang sekarang macung jadi anggota DPR membuat hubungan mereka sedikit renggang.

"Aku jengkel sama Mas Fahmi." Ucap Dea.

Ponsel Raisa berbunyi. Tertulis nama Hafiza di layar nya. Raisa memilih tidak menjawab. Semenjak Raisa dan Albar bercerai, Hafiza bagaikan teror dalam hidupnya. Wanita itu mengalami depresi ringan dengan perceraian mereka.

Kini Raisa sudah bersuami kembali. Rois segera mencarikan jodoh baru untuk putrinya agar tidak mengulangi depresi Raisa dimasa lalu. Apalagi Raisa sempat mengunci diri selama satu bulan setelah perceraiannya.

"Rio kalo ngejoki pinter gak?" Dea cekikikan.

"Semprul." Jawab Raisa menepuk bahu Dea.

"Nih.. aku beliin buat kalian. Biar main kudanya makin asik." Dea memberi sebuah obat kuat tanpa diberi bungkus apapun.

RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang